Dan kini mereka berjongkok tanpa sempat berbuat apa-apa melihat ular itu kembali melesat ke arah orang yang laing depan. Mereka tak tahu siapa orang itu. Namun demi malaikat mereka menggigil melihat orang itu tetap tegak seperti menanti datangnya serangan ular raksasa itu.
Dan ular itu nampaknya memang berang benar. Kalau tadi yang meluncur kedepan hanyalah kepalanya dengan mulut menganga, diiringi mencuatnya taring yang hampir sejengkal panjangnya itu, dia juga melepaskan lilitan tubuhnya di pohon.
Dengan demikian, dia bermaksud menyerang lawannya habis-habisan dengan mematuk dan meremukkan tubuhnya dengan lilitan.
Tapi malangnya orang itu justru adalah si Bungsu! dia memang bukan Tarzan. Raja Rimba yang jadi legenda di hutan belantara Amerika serikat. Namun, hewan buas dan binatang melata mana yang tak “kenal” pada si Bungsu ketika dia bertarak di Gunung Sago?
Di rimba gunung sago yang belum pernah dijamah kaki manusia itu, binatang-binatang buas lebih senang menghindar jauh-jauh atau berdiam diri saja dipersembunyiannya bila manusia yang satu ini lewat.
Hal itu terjadi setelah setahun si Bungsu dirimba itu. Dan selama setahun itu memang banyak coba-coba. Maklumlah “orang baru”.
Namun anak muda ini telah bertekad untuk tetap hidup. Hidupnya adalah pembalasan dendam. Dan selama setahun itu tak terhitung ular, harimau yang ingin “mencobanya”. Namun dia menghadapi dengan samurai. Anak muda itu tak mau mengganggu kalau dia tak diganggu. Akhirnya seperti ada persepakatan antara mereka. Antara hewan buas itu dengan si Bungsu. bahwa mereka akan hidup sebagai tetangga yang rukun.
Dan hal itu memang jalan terbaik bagi hewan-hewan buas itu. Sebab setelah setahun, anak muda itu telah berobah menjadi manusia yang amat cepat mempergunakan samurai.
Nah, kini dia berhadapan dengan ular itu. Dia menunggu kepala ular itu dekat. Kemudian mengelak ke kiri. Dan samurainya berkelabat. Sekali. Dua kali! Empat!
Pada gerakkan pertama, kepala ular itu putus tentang lehernya. Kepalanya masih terus melayang ke belakang. Kepalanya masih terus melayang ke belakang. Mengenai tubuh Miguel. Miguel terpekik kaget.
Pada gerakkan kedua, ketiga dan keempat, butuh ular yang tengah meluncur dengan maksud melilit badannya itu berpotong-potong sama panjang! Semuanya jatuh dengan darah bersemuran! Lalu sepi!
Ke tujuh anggota Baret Hijau itu, termasuk Kapten Fabian, menatap dengan mulut ternganga dan bulu tengkuk merinding. Dalam cahaya samar-samar mereka melihat anak muda itu tegak dengan tenang. Kemudian dengan tenang pula secara perlahan dia menyarungkan samurainya!
Suasana tegang itu terpecahkan oleh suara langkah menguak semak-semak di depan mereka. Secara reflek mereka menyiapkan bedil. Suara burung malam menggema perlahan. Mereka menarik nafas. Seorang dari anggota rombongan itu menyahuti suara burung itu dengan nada yang sama.
Selang beberapa saat muncul sesosok tubuh. Dan si Bungsu segera mengenalinya sebagai si Negro.
“Kapal mereka nampak tengah menuju kemari. Hanya ada sebuah kapal….” Tongky si Negro itu melapor perlahan pada Kapten Fabian.
“Ya. Mereka mengumpulkan wanita-wanita itu ke kapal yang satu itu ditengah laut. Dan kini mereka menuju ke markas mereka di pantai sana. Mari kita bersiap…” Kapten Fabian memberi perintah-perintah.
“Kita takkan kembali lagi kemari. Kita akan merebut kapal dan menyelamatkan wanita-wanita itu. Jangan menembak sebelum ada komando dari saya dengan tembakan peluru sinar hijau”
Selesai perintah singkat itu merekapun bergerak. Tongky di depan sekali. Berturut-turut dalam jarak dua depa adalah Kapten Fabian, Donald, Miguel dan yang lain-lain.
Di belakang sekali si Bungsu.
Sebenarnya dia ingin berjalan di depan sekali. Dia ingin menjadi penunjuk jalan. Sebab meskipun belum pernah kepulau ini, tapi dia hapal setiap lorong dan setiap jengkal tanah rimba.
Dia tahu dari bau yang dipancarkan hutan itu apakah tanah yang mereka pijak keras atau lunak. Dalam jarak sepuluh depa, dia sudah tahu apapun di depan rawa, atau ada bahaya dalam bentuk binatang buas atau manusia.
Dia hapal segalanya itu. Ah, dia mengenali rimba raya seperti dia mengenali dirinya sendiri. Namun dia tak jadi berjalan ke depan karena perintah Kapten Fabian. Karena dalam pasukan komando itu Tongki lah yang ahli dalam mengenal lapangan.
Kini mereka berjalan dengan diam tanpa menyalakan lampu. Tanpa cahaya setitikpun. Rimba rendah di pinggir laut segera saja disambut oleh belantara yang lebat dibahagian darat pulau itu.
Dan dibawah pohon raksasa di pulau Pesek itu segalanya jadi gelap gulita. Hujan lebat yang menerpa mereka di tengah laut tadi, kini hanya tinggal titik-titik berupa hujan rintik. Namun saking rapatnya dedaunan, rintik-rintik itu tak sampai ke bawah.
@
Tikam Samurai - III