Dan Tonky nempaknya memang ahli dalam menyelusup dirimba raya. Itu diakui oleh si Bungsu yang berjalan di belakang sekali. Negor pendiam itu dalam gelapnya malam dengan lincah menyelinap ke sana kemari. Menghindarkan dirinya dan rombongan dibelakangnya dari perangkap hutan belantara yang mereka lalui.
Mereka berpedoman dari bayangan di depan mereka agar tak kehilangan teman. Dan si Bungsu mengakui bahwa pasukan ini memang pasukan yang ahli dalam rimba. Dari cerita-cerita yang pernah dia dengar tentang pasukan Green Barets diketahuinya bahwa pasukan ini tak hanya tangguh bertempur merebut kota dari tangan musuh. Tapi juga tangguh dan sangat ditakuti di rimba dan di lautan.
Sebagai suatu pasukan Komando dibawah bendera pasukan sekutu yang bertempur melawan Jerman dan Jepang, pasukan ini memang diakui musuh. Mereka biasanya didrop ke daerah musuh yang paling tangguh. Dimana pasukan-pasukan infantri atau pasukan artileri tak kuasa menerobos pertahanan musuh., maka sudah bisa dipastikan bahwa Jenderal Eisihhower yang menajdi panglima pasukan sekutu akan mengirim telegram pada komando pasukan Green Barets.
“Kami kandas dalam menerobos sasaran “X” telah dicoba dengan infantri yang ribuan jumlahnya. Dan dibantu oleh pasukan artileri serta pasukan-pasukan payung. Namun pertahanan mereka sangat tangguh. Kami berharap dan bangga sekali kalau pasukan Green Barets dapat membantu kami. Terimakasih, Einsihower”
Selalu demikian bunyi “perintah” jenderal berbintang empat itu. Dia tak pernah memakai kalimat “dengan ini saya perintahkan”. Dia selalu memakai kalimat “Kami bangga sekali kalau pasukan Green Barets dapat membantu kami..’
Itu sebabnya kenapa Eisinhower jadi akrab dengan setiap prajurit yang dipimpinya. Meskipun “perintah” dan “kepatuhan” merupakan dogma yang mutlak bagi setiap prajurit, namun Eisinhower selalu berusaha menghindar dari sistim itu. Dia seorang jenderal yang keras, tegas dan berwibawa. Namun disamping itu dia juga seorang jenderal yang dicintai.
Dia adalah perpaduan antara Panglima dalam arti militer, dan Pemimpin dalam arti sipil. Dan kini, Green Barets, pasukan kebanggan tentara sekutu itu, juga kebanggan Eisinhower, sebagian anggotanya berada di depan si Bungsu. berada dalam rimba pulau Pesek di selatan Singapura.
Pasukan kecil beranggotan sembilan orang itu suatu saat berkumpul di sebuah tempat gelap.
“Kita akan menyeberang rawa ini…” Tongky brekata perlahan.
“Tak ada buaya…?” terdengar pertanyaan dari mulut Donald.
“Tidak. Tadi saya menyeberang disini juga. Ini jalan pintas terdekat. Disebelah sana, setelah menerobos sedikit belukar, kita akan sampai antara rumah papan yang mereka jadikan sebagai markas dengan pelabuhan kapal dimana mereka menurunkan perempuan-perempuan itu…”
“Engkau menyeberang disini pulang pergi tadi?” kali yang bertanya adalah Kapten Fabian.
“Ya. Inilah jalan saya tadi. Buktinya saya masih hidup, toh?” Tongky meyakinkan. Dan dia memang masih hidup. Dan dia memang lewat di rawa itu tadi. Dia tak berbohong akan hal itu. Namun si Bungsu tak sependapat dengan Negro itu.
Barangkali saja Tongky benar, bahwa rawa ini tak berbuaya. Namun firasat si bungsu mencium bahaya yang jauh lebih dahsyat daripada seekor atau lima ekor buaya. Inderanya yang amat tajam tentang perilaku rimba belantara membisikkan bahaya itu pada hatinya.
“Baik, engkau duluan. Yang lain mengikuti dalam jarak empat depa….” Kapten Fabian berkata. Mereka berkata-kata tetap berupa bisik-bisik perlahan.
Tongky mulai masuk ke air.
Tapi langkahnya terhenti ketika terdengar ucapan “tunggu” dari belakangnya.
Dia berhenti, dan dia termasuk juga seluruh rombongan menoleh pada si Bungsu yang mengatakan “tunggu” itu.
“Saya rasa jalan ini berbahaya…” katanya perlahan.
Anggota bekas pasukan baret hijau itu menatap padanya tepat-tepat. Mereka tak bersuara. Menanti penjelasan dari anak muda itu.
“saya tak dapat mengatakan apa bahayanya. Tapi firasat saya mengatakan hal itu. Barangkali bukan buaya atau ular. Tapi kesunyian di seberang sana membuat saya curiga….” Si Bungsu berkata separoh berbisik.
Tongky mendekat lagi mendengar penjelasan itu.
“Ya diseberang sana memang sepi. Saya tadi menyelusup sampai ke dekat rumah yang mereka jadikan markas. Disana enam lelaki. Semuanya berbedil otomatis. Dan mereka semua asik main kartu. Di pelabuhan ada dua orang yang memberi isyarat pada kapal yang kelihatannya masih sangat jauh. Mereka memberi isyarat dengan pelita kecil. Nah, jumlah mereka hanya delapan. Barangkali dari kapal yang akan merapat itu ada sekitar sepuluh orang lagi. Jadi semuanya hanya delapan belas. Betapapun juga, dengan kekuatan sedemikian kita sanggup menyikat mereka…”
Kemudian dia menatap kembali pada Kapten Fabian. Lalau tatapan matanya berpendar pada ketujuh anggota Baret Hijau yang lain. Lalu terdengar suaranya perlahan..
@
Tikam Samurai - III