Si Bungsu mengagumi cara mereka merayap. Dalam lumpur dan timbunan dedaunan tebal begitu, kedua orang itu merayap benar-benar seperti ular.
Tak bersuara. Artinya, suara desir yang mereka timbulkan hanya bisa ditangkap oleh telinga yang amat tajam. Berarti masih ada seorang lagi di bawah yang harus diselesaikan. Yaitu yang bicara penghabisan sebelum Cina yang diatas cabang itu bercarut menyuruh mereka diam.
Si Bungsu perlahan merangkak ke arah suara itu. Dalam jarak tiga depa, si Bungsu merasa berada di pasar. Orang itu membuat kegaduhan yang tak tanggung-tanggung dalam penantiannya.
Dia menguap. Dan suara kuapnya sebenarnya cukup perlahan. Tapi ditelinga si Bungsu, suara kuap seperti itu sama seperti mendengar suara teriakkan. Kemudian orang itu beberapa kali menyumpah-nyumpah. Dari logatnya, si Bungsu segera tahu, orang ini adalah orang Keling.
Kini jaraknya hanya tinggal sedepa. Dan si Bungsu segera dapat mencium bau tubuh Keling itu.
Keling itu masih menyumpah-nyumpah karena muak menanti. Si Bungsu mengukur jarak. Jarak antara dirinya dengan orang Keling itu.
Orang itu berada agak diatasnya sekitar sehasta. Hanya karena kesal sejalan orang keling itu sampai tak melihat dirinya dalam jarak sedepa itu. Padahal orang itu menempati tempat yang strategis. Agak di atas tebing, si Bungsu hanya dilindungi oleh gelapnya malam, dan sedikit semak-semak.
Perlahan si Bungsu menoleh ke kiri. Dalam jarak empat depa, tegak pohon rimbun bercabang rendah. Dan di pohon itulah Cina yang bercarut tadi bersembunyi.
Kalau sekarang di menyerang Keling ini, apakah Cina di atas pohon itu takkan mengetahui?
Dia mengangkat kepala sedikit. Antara tempat kaling itu berada dengan pohon si Cina ada pohon-pohon kecil. Tak dapat tidak, keling inilah yang harus diselesaikan dahulu.
Dia merayap lagi. Dan nampaknya keling itu baru menyadari ada sesuatu yang tak beres disekitarnya.
Dia terdiam. Si Bungsu juga menghentikan gerakkannya. Orang itu menatap tajam ke depan. Ke arah air rawa. Dia ingin memastikan apakah sesuatu yang bergerak disana.
Tak ada apa-apa.
Air rawa itu tetap pekat dan gelap. Tetap tak ada riak apa-apa. Tapi ketika dia menukikkan pandangannya agak kebawah, yaitu ke tebing yang terletak persis di bawah batang hidungnya, dia meliat sesuatu tergeletak. Terjulur dari dalam semak-semak yang setengah depa di depannya.
Hitam dan agak besar. Nampaknya seperti pohon kayu yang lapuk. Tapi, apakah tadi pohon kayu itu ada disitu?
Dia tak begitu yakin. Rasanya tidak. Atau salah mengingatkah dia? Masakan pohon itu begitu saja ada disana. Dia coba membuka matanya lebar-lebar. Berusaha menembus dinding gelap yang melingkup pinggir rawa itu.
Karena tak begitu yakin, dia lalu merangkak ke depan. Kepalanya dia julurkan, dan menatap. Lalu tiba-tiba di sadar bahwa itu bukan pohon, melainkan kaki manusia! Kaki yang lengkap dengan sepatu!
Kaget dan panik dalam waktu yang singkat melanda diri Keling itu. Dia menarik kepalanya dan mengangkat bedil. Namun segalanya terlambat sudah. Yang berada di depannya adalah si Bungsu. sesaat sebelum kepalanya ditarik, samurai anak muda itu berkelabat. Masih dalam keadaan tiarap, mata samurai itu membuat lingkaran ke udara. Dan kepala orang Keling itu putus!
Kepalanya justru jatuh menimpa punggung si Bungsu. dan darah yang menyembur membasahi baju lorengnya! Tubuh keling yang tak berkepalanya itu menggelepar. Gelepar tubuhnya menimbulkan suara berisik di semak itu.
“Kani keni Pubo!! Kau tak bisa diam Keling jahanam?!” terdengar carut yang amat kasar dari mulut Cina diatas pohon itu. Si Bungsu menanti dengan tegang. Dia tak mungkin bergerak dalam situasi bgitu. Posisinya berada dalam keadaan lemah. Cina itu bisa saja memuntahkan peluru kearahnya bila dia curiga.
Dia menanti diam. Tapi tubuh keling itu masih menggelepur. Persis seperti ayam yang disembelih.
“Kalau kau tak bisa diam, kurengkahkan kepalamu dengan pistol ini….!” Cina itu nampaknya marah benar. Dan hanya kebetulan saja yang menolong si Bungsu. tubuh keling itu kehabisan darah. Darahnya telah menyembur seperti air tumpah dari drom lewat lehernya yang putus.
Dan kini tubuh yang kehabisan darah itu terdiam.
“Kalau kau tak bisa menanti, lebih baik kau pulang saja ke markas….” Suara Cina itu terdengar lagi perlahan. Mayat keling itu diam. Tak menyahut. Ya, apa pula yang akan disahuti oleh sesosok mayat yang tak berkepala?
Si Bungsu merasa muak oleh darah yang membasahi pakaian dan punggungnya.
Dia ingin bergulingan masuk ke air rawa. Tapi itu adalah hal yang mustahil. Kalau akan masuk rawa, dia harus merangkak lagi enam depa ke kanan. Yaitu ketempatnya mula-mula muncul tadi. Sebab disanalah medannya yang penuh semak. Sementara dibawahnya ini, yaitu di depan sei Keling ini mengintip, sampai ke daerah Cina di atas pohon itu, tebing rawannya licin, tak berumput. Dan setiap benda yang bergerak akan mudah kelihatan.
@
Tikam Samurai - III