Dengan tetap mendekap mulut orang Melayu itu, Donald memiting lehernya dengan kuat. Pitingannya makin menjepit. Dia memiting dengan sebuah pitingan Yudo yang tangguh. Tubuh orang Melayu itu mulai menggeletar. Dan suatu saat terdengar suara berderak. Kepala orang itu terkulai. Tulang lehernya ternyata patah!
Dalam usahanya mematahkan perlawanan orang Melayu itu, Donald mendekap mulutnya dengan tangan kiri dengan kuat. Kemudian memiting lehernya dengan lengan kanan. Yaitu setelah lengan kanannya gagal memasukkan pisau komando.
Dia memiting dengan segenap tenaga. Kemudian dengan segenap tenaganya pula, tangan kirinya yang masih mendekap mulut, dia tolakkan ke kanan. Akibatnya sungguh fatal bagi orang itu. Tulang lehernya patah!
Donald masih memiting leher orang itu beberapa saat. Bahkan tangan kirinya masih mendekap mulut orang itu. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Berusaha mendengar reaksi. Apakah pergumulannya ini terdengar tadi atau tidak?
Tak ada suara apa-apa. Perlahan dia membaringkan tubuh orang itu ke tanah. Kemudian dia menghapus peluh. Waktu yang termakan oleh mereka sejak mereka bersalaman tadi, sampai terbunuhnya ketiga orang itu adalah empat menit. Jadi jika dihitung sejak mereka mulai menyebrang rawa, yaitu sejak meninggalkan Kapten Fabian dan lima anggota lainnya di seberang sana, telah habis waktu selama enam belas menit.
Keadaan kini jadi sepi. Tak ada suara. Dan si Bungsu yakin, sebagaimana Donald dan Tongky juga yakin, bahwa teman-temanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik.
Kini mereka menanti. Sementara si Bungsu yang harus menyelesaikan Cina di atas pohon itu, tengah merangkak ke pohon tersebut.
Dia merangkak mendekati tempat itu dari arah belakang. Posisi ini menguntungkan dirinya. Sebab Cina itu pasti tetap memandang ke depan. Ke rawa yang airnya hitam dalam gelapnya malam itu.
Dia tengah merangkak, ketika dari seberang sana terdengar suara burung malam. Tak sembarang orang bisa mengetahui bahwa suara itu sebenarnya adalah suara manusia. Isyarat yang dikirimkan oleh regu Kapten Fabian.
Si Bungsu menangkap bunyi itu. Dia berhenti merangkak. Dan tiba-tiba dia dengar suara yang sama dari arah kanannya. Suara itu kalau tidak balasan dari Tongky pastilah balasan dari Donald. Jawabannya itu hanya sekali. Kemudian sepi.
Si Bungsu merangkak lagi. Makin dekat ke pohon rendah itu. Ah, soal merangkak dalam semak-semak tanpa menimbulkan bunyi, dia tak usah malu pada anggota Baret Hijau itu. Pekerjaan itu sudah merupakan mainannya ketika di Gunung Sago.
Bukankah ketika mengintai rusa atau kijang untuk persediaan makanan dia harus menanti atau merangkak mendekati hewan itu ketika mereka sedang minum di tebat kecil di rimba belantara itu? Nah, pekerjaan itu mula-mula amat susah bua dia lakukan. Dia masih ingat, selama sebulan dia berusaha mendekati rusa itu, tapi dari jarak seratus meter, rusa itu sudah tahu akan kehadirannya.
Tidak saja dia lupa memperhitungkan arah angin, sehingga bau tubuhnya tercium oleh binatang itu, tapi gerakan kakinya dia anggap sudah sangat hati-hati dan perlahan sekali, rupanya sangat hinggar binggar di telinga binatang-binatang itu.
Dari kesulitan hidup di belantara itu dia belajar. Akhirnya di bulan kedua dia berhasil mendekati tempat binatang tersebut tanpa diketahui.
Menginjak bulan purnama, dengan mudah dia menangkap kijang atau rusa yang tengah makan rumput. Dia merayap dari balik alang-alang tanpa diketahui sedikitpun. Dan kini dia mengulangi lagi kaji lama itu.
Dengan mudah kini dia berada di bawah pohon tersebut. Menembus gelapnya malam dan rimbunan daun, dia berhasil melihat sesosok tubuh duduk dengan enaknya di sebuah cabang yang benar-benar strategis dan mirip kursi. Pantaslah Cina itu tak menimbulkan suara sedikitpun. Sebab dia tak usah susah-suah merubah posisi. Posisi duduknya sudah sedemikian enaknya. Dahan tempat duduknya lebar. Ada dahan lain dikiri kanan tempat kaki.
Dan dibelakangnya tegak batang pohon tersebut untuk bersandar. Hm, benar-benar tempat yang enak.
Kalaupun ada suara yang ditimbulkan oleh Cina itu, hanyalah dari mulutnya. Mulutnya mengunyah terus-terusan. Nampaknya dia seorang profesional benar.
Menanti musuh dengan senjata api siap memuntahkan peluru, dan sekantong makanan di dekatnya. Makan itulah yang dikunyah dan dilahapnya terus selama penantian tersebut.
Pantas saja dia tak merasa bosan seperti teman-temannya yang lain.
Cina itu merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah botol picak. Membuka tutupnya, lalu meneguk isinya. Si Bungsu yang tiarap setengah depa dari pangkal pohon itu segera dapat mencium bau minuman keras menyeruak dari mulut botol tersebut.
Dan saat itulah si Bungsu menginsut tubuh. Dia tegak perlahan. Kalau sekedar ingin membunuh, maka Cina itu sudah kehilangan kepala dia buat. Ketika si Bungsu tegak, Cina itu persis berada sama tinggi dengannya. Dia duduk di dahan yang tingginya hanya setengah meter dari tanah. Dan kini tanpa dia sadari sedikitpun, seseorang dengan sebilah samurai yang sudah terlalu banyak merenggut nyawa berada persis di balik pohon yang dia buat sebagai tempat sandaran tubuhnya.
@
Tikam Samurai - III