“Psst….!” Cina itu mendengar isyarat di belakangnya. Tanpa curiga dia menoleh. Dan tiba-tiba saja sebuah benda panjang lagi dingin dan tajam, tertekan di lehernya.
“Jangan bersuara kalau engkau masih ingin tetap memilki kepalamu ini….” Terdengar suara bisikan perlahan dan bernada datar dirumpun telinganya.
Kalau ada seekor ular berbisa melilit tubuhnya saat itu, mungkin Cina tersebut takkan kaget dan takut seperti yang dialami saat ini. Betapa mungkin, seseorang mendekati tempatnya tanpa dia ketahui sedikitpun? Siapapun orang yang mengancamnya ini, meski tak dia ketahui, namun yang pasti, orang ini adalah seorang tangguh dan amat berbahaya. Dan ancamannya pastilah tidak main-main.
Cina itu menggeleng. Gelengannya tanda persetujuan bhawa dia takkan bersuara. Tanda pengakuan bhawa dia masih ingin memiliki kepala di atas lehernya.
“Engkau harus bicara bilamana ku perintahkan…” suara dingin dan datar itu kembali berbisik di pangkal telinganya. Cina itu menelan ludah. Lalu mengangguk.
“Dan apa yang akan kau katakan, haruslah menurut yang kuingini..”
Cina itu tak segera mengangguk. Mata samurai menekan lehernya.
Dan dia segera merasakan bahwa mata benda yang ditekankan ke lehernya itu telah memakan daging lehernya. Terasa pedih. Dan sesuatu yang cair lagi panas mengalir di lehernya itu. Darah! Dengan wajah pucat dan ketakutan yang amat sangat, Cina itu mengangguk. Dia benar-benar hampir tak bernafas saking takutnya.
“Nah bagus begitu! Berapa orang anggotamu yang menanti di sekitar ini?” suara si Bungsu terdengar lagi berbisik.
“Jangan bohong, sebab aku takkan pernah mengangkat mata samurai ini dari lehermu sebelum semua keteranganmu kuketahui benar adanya. Sekali engkau coba berbohong, maka engkau akan duduk disini tanpa kepala…”
“Ada delapan orang..”
Delapan orang. Berarti sembilan dengan Cina ini. Tiga sudah mati. Yang satu kini dia kuasai. Jadi empat telah dilumpuhkan. Tinggal kini lima orang. Pikiran si Bungsu bekerja cepat.
“Suruh mereka berkumpul kemari semua..” si Bungsu berbisik lagi. Dan Cina itu nampaknya memang pimpinan penyergapan itu. Dia segera memberikan perintah untuk berkumpul. Dan teman-temannya yang lain, karena merasa bosan menanti tanpa hasil sejak tadi, segera berdatangan.
Si Bungsu memberi isyarat dengan bunyi siulan yang mirip suara burung. Dan Donald serta Tongky yang masih tiarap dalam semak belukar mendengar siulan itu. Mereka segera mengerti maksudnya. Kedua orang ini segera menanti. Begitu anggota-anggota sindikat itu tegak dan berjalan dalam kegelapan menuju tempat Cina itu, mereka jua ikut berdiri. Dan ikut berkumpul dekat kayu tersebut.
Cahaya gelap membantu mereka. Tak ada yang tahu bahwa diantara yang berjalan menuju tempat berkumpul itu ada dua orang lain yang tak sama dengan mereka. Dan penyelusupan itu baru diketahui ketika mereka semua telah berkumpul.
“Jangan ada yang bergerak. Kami pasukan Baret Hijau. Jika ada yang melakukan sedikit saja gerakkan, akan kami siram dengan peluru” terdengar suara Tongky perlahan. Semua jadi kaget. Mereka menoleh. Dan dalam kegelapan itu ada dua orang yang tegak hanya setengah depa dari mereka. Mengacungkan bedil dan siap tembak.
Dalam jarak begitu dekat, mana ada harapan bagi mereka untuk melakukan sesuatu? Mereka hanya heran, mana tiga orang lagi teman mereka? Dan mana Cina yang memimpin mereka yang tadi menyuruh mereka berkumpul?
Si Bungsu membisikkan sesuatu ke pangkal telinga Cina itu. Dan terdengar suara Cina itu:
“Menyerahlah. Kita sudah terkepung…..”
Terdengar sumpah serapah. Tongky dan Donald bertindak cepat. Mereka melucuti keempat orang itu. Dan memaksanya tengkurap.
“Beri isyarat pada Kapten Fabian….” Suara si Bungsu terdengar perlahan. Tongky kemudian mengirim isyarat itu. Suara burung malam terdengar berbunyi tiga kali dari mulutnya.
Dari seberang terdengar pula sahutan sekali.
“Mereka berhasil. Mari kita menyeberang. Cepat!!” suara Kapten Fabian memrintahkan regunya. Dan keenam pasukan Baret Hijau ini segera memasuki rawa dan menyebranginya.
Memerlukan waktu lima menit bagi mereka untuk berjalan mengarungi rawa pekat itu.
Mereka segara saja sampai ke tempat ketiga orang itu meringkus lawannya. Keenam anggota sindikat yang semula bermaksud menyiksa mereka kini telah tertelungkup di tanah. Keenamnya dalam keadaan terikat tangannya kebelakang. Dan terikat kakinya satu dengan yang lainnya.
“Letnan” Bungsu menyerahkan tawanan itu pada Kapten Fabian. Dan menerangkan bahwa yang memimpin penyergapan ini adalah Cina yang tertelungkup paling kanan. Kapten tersebut menyalakan senter kecil. Menerangi wajah Cina itu.
@
Tikam Samurai - III