Dalam takut dan rasa sakit yang luar biasa, dia coba menarik gadis Indonesia itu dengan tangan kirinya. Namun sebuah lagi tembakkan bergegar. Dan siku kiri Cina itu hancur pula dimakan peluru Sony.
Cina itu meraung dan terjatuh ke belakang. Untung jatuhnya ke dalam kapal dan menimpa tubuh anak buahnya yang tadi telah mati ketika akan menembak Kapten Fabian, tapi didahului oleh pasukan Kapten itu.
Gadis itu sendiri jatuh tertelungkup. Separoh tubuhnya sudah menjulur ke bawah dermaga. Namun dia berusaha menggapai ke atas. Tongky, si Negro yang berada tak jauh dari salah satu tepi dermaga segera melompat dan berlari menolong gadis itu. Untung dia datang tepat pada waktunya. Gadis itu hampir tercebur ke bawah, ketika tangannya yang menggapai disaat terakhir disambar oleh Tongky.
Ada beberapa saat tubuhnya terayun di awang-awang. Baru Tongky bisa mengangkatnya keatas dengan sebuah tarikan kuat. Gadis itu menangis. Dan rubuh ke dalam pelukan Tongky. Dia jatuh pingsan.
Sony masih tetap tegak. Jenggel mautnya tetap pada posisi siap tembak seperti tadi. Ujung bedilnya kini dia arahkan ke kapal.
Cina gemuk yang memimpin sindikat penyelundupan wanita-wanita di Asia Tenggara itu tergolek kesakitan di lantai kapal. Mulutnya menyumpah-nyumpah. Kemudian perlahan dia bangkit.
Merangkak. Tapi rubuh lagi, kedua tangannya tak lagi bisa dipakai. Dengan menyumpah dan bercarut marut, dia bangkit. Dan saat itu pula, ketika dia tengah tegak, bedil Sony menyalak lagi. Senapan semi otomatik itu memuntahkan empat peluru berturut-turut dalam jarak dua detik-dua detik.
Tubuh Cina gemuk itu seperti ditendang-tendang gergasi. Terpental-pental. Dan ketika akhirnya tubuh gemuknya itu kecebur ke laut, kepalanya telah rengkah berserak-serak. Lalu sepi. Perlahan Sony menurunkan bedilnya. Menoleh lagi pada si Bungsu. “Letnan” itu tersenyum dan mengangkat jempol. Sony membalas senyumnya dan melambai.
Mereka berjalan ke arah tubuh Kapten Fabian yang tertelungkup mandi darah.
“Tongky, ambil tubuh Jhonson di bawah…!” si Bungsu berkata.
“Siap, Let!”
Mereka melangkah ke dermaga. Tapi langkah mereka terhenti ketika dari belakang terdengar derap sepatu. Ketika mereka menoleh, kelihatan Miguel dan Donald menggiring keenam tawanannya yang mereka tinggalkan di pinggir rawa tadi.
Dua orang diantara tawanan itu menggotong tubuh Fred Williamson. Rupanya Donald dan Miguel mendengar tembakan-tembakan pertempuran. Mereka segera menuruh tawanan itu bangkit. Lalu menggiring mereka ke arah markas. Ketika Donald masuk, dia terkejut melihat mayat Fred terlantar. Dari mulut temannya itu mengalir darah segar.
Dari markas itu terdengar suara tembakkan dua kali. Suara tembakan itu adalah suara tembakan Sony yang menghantam siku Cina gemuk yang menyandera gadis Indonesia itu. Mereka memerintahkan dua orang diantara tawanan itu untuk menggotong mayat Fred. Dan dengan menodong mereka dari belakang, kedua anggota Baret Hijau itu membawa tawanan tersebut ke dermaga.
Mayat Fred dan mayat Jhonson segera di baringkan di dermaga. Ketika tubuh Kapten Fabian akan diangkat, terdengar keluhan lemah.
“Dia masih hidup!” si Bungsu berseru. Semua anggota Baret Hijau itu berlarian ke arahnya. Kecuali Miguel yang tetap menodong para tawanannya yang menelungkup di tanah.
Kapten Fabian ternyata memang masih bernafas. Meski denyut jantungnya sudah melemah, tapi dia masih hidup. Itu yang penting.
“Bob, lekas….!” Donald memanggil temannya Bob Hansen orang Irlandia yang ahli dalam obat-obatan.
Sersan itu segera membuka ransel kecil di punggungnya, mengeluarkan obat-obatan.
Donald dengan hati-hati merobek baju Kapten itu tentang luka dipunggungnya. Ada dua peluru bersarang di pundak Kapten Itu. Untung yang kena adalah pundak belakang bahagian kanan. Kalau bahagian kiri, Kapten itu takkan tertolong lagi.
Bob Hansen mencuci luka di bahu Kapten itu dengan cairan steril dari botol kecil di dalam ranselnya. Kemudian kelihatan lubang peluru di pundak Kapten itu dua buah sebesar ibu jari.
“Pelurunya tertahan oleh tulang belikat. Kita memerlukan pisau yang tajam untuk operasi..” Bob Hansen berkata.
Semua anggota pasukan itu segera saja menoleh pada si Bungsu. memandang pada samurai ditangannya.
“Ya, saya memiliki pisau yang tajam…” si Bungsu yang jongkok di dekat mereka berkata.
Dan tiba-tiba saja tangan kanannya mengulurkan sebuah samurai kecil. Tak seorangpun melihat darimana Letnan itu mengambil samurai yang panjangnya sekitar sejengkal itu.
Tak ada diantara mereka yang tahu bahwa ada enam samurai semua yang tersimpan dibalik lengan baju loreng si Bungsu. Dan sebentar ini ketika Bob Hansen mengatakan memerlukan sebuah pisau tajam, dia menggoyangkan tangan kanannya.
@
Tikam Samurai - III