“Itu tugas saya Kapten. Bukankah saya adalah bagian dari pasukan anda?”
Kapten Fabian menggenggam tangan si Bungsu.
“Betapaun jua, terimakasih, kawan. Anda sangat layak menjadi seorang anggota Baret Hijau. Kami bangga anda berada satu pasukan dengan kami..”
“Terimakasih. Saya benar-benar mendapat kehormatan memakai Baret Hijau itu…”
Kapten Fabian memejamkan mata. Nyata dia masih lelah akibat terlalu banyak kehilangan darah. Kalau saja pertempuran itu berjalan lebih lama lagi, dan pertolongan terlambat sedikit saja diberikan padanya, maka nyawanya tak tertolong.
“Ada sesuatu yang ingin kusampaikan…” bisik Kapten Fabian perlahan.
“Ini mengenai Letnan robert. Saya tak mungkin bisa menyertai jenazahnya ke Australia. Saya ingin engkau mengiringkan jenazah itu bersama donald kesana…’ Kapten Fabian berhenti, mengatur nafasnya yang sesak.
Si Bungsu kaget mendengar permintaan ini. Namun dia tetap berdiam diri. Donald dan Tongky juga diam mendengarkannya. Kapten itu membuka matanya kembali.
“Pergilah. Dia punya seorang ibu dan seorang tunangan. Sedianya dia akan menikah akhir bulan ini. Dia butuh sedikit uang untuk perongkosan pernikahannya. Uang itu telah kami dapatkan. Sayang dia keburu mati. Engkaulah menggantikan diri saya menyampaikan hal ini pada ibunya, pada tunagannya…”
Kapten itu berhenti lagi bicara, Donald, Tongky dan si Bungsu bertukar pandang.
“Jangan menolak Bungsu. Tongky dan Donald akan mengatur perjalanan ini. Engkau dan Donald bawakan pula uang untuk pernikahan itu. Serahkan pada ibunya separoh, pada tunagannya separoh…’
“Tongky…’
“Saya Kapten…”
“Jika Bungsu sudah siap, urus perjalanannya dengan Donald dan pengiriman jenazah Robert, jika bisa besok atau lusa…’
“Saya akan menyiapkannya, Kapten…”
“Bungsu…”
“Saya, Kapten…”
“Saya tidak memaksamu untuk ikut terus bergabung dengan kami dalam pasukan veteran ini. Tapi untuk mengantarkan jenazah Robert, kumintakan benar bantuanmu…”
Tak ada alasan bagi si Bungsu untuk menolaknya. Dia ingat bahwa Robert mati karena menyelamatkan nyawanya. Kalau saja tidak didorong oleh Robert hingga dia jatuh di jalan di depan hotelnya dulu, maka dirinyalah yang kena sasaran peluru otomatik itu. Bukan Letnan Robert. Sudah sepantasnya dia mengiringkan jenazah Robert dan menyampaikan duka pada keluarganya.
“Saya mendapat kehormatan untuk mengiringkan jenazahnya ke Australia, Kapten…” dia berkata perlahan.
Kapten itu menarik nafas lega. Benar-benar lega.
“Letnan, setelah engkau kembali dari Australia, engkau bisa langsung ke Jakarta. Kemudian ke kampungmu. Atau kemana saja engkau suka. Jika engkau mau ke Singapura ini, bergabung dengan kami, maka kami benar-benar mendapat kehormatan atas hal itu. Kami yakin, banyak tugas besar yang bisa kita selesaikan jika engkau berada dalam pasukan kami. Kita akan menghantam kaum penghianat, penculik, penipu dan bandit-bandit di seluruh dunia. Kami punya rencana ke Amerika setelah ini.
Namun jika engkau tak lagi kembali pada kami, kami mengaturkan banyak terimakasih atas bantuanmu. Jika engkau memerlukan bantuan kami, dimanapun engkau berada, dan bilapun saatnya, selagi kami masih hidup, meski agak seseorang, kami akan datang membantu. Kirim saja telegram. Meski diujung dunia sekalipun, kami akan datang membantu. Alamat kami di eropah, di Amerika, di Afrika, di Singapura ini, dapat kau terima dari donald. Kami akan merasa bahagia kalau engkau mengirimkabar pada kami…”
Si Bungsu menunduk. Diam. Perkenalannya dengan bekas pasukan Baret Hijau Inggris yang tersohor ini benar-benar luar biasa baginya.
--o0o--
Siang itu Overste Nurdin yang tengah duduk disertai isteri dan anaknya kedatangan seorang tamu. Staf Konsulat memberitahukan kedatangan tamu itu ke kamarnya di tingkat atas gedung konsulat.
“Ada tamu untuk bapak dan ibu…” staf itu berkata.
“Tamu…?”
“Ya..”
“Silahkan masuk..”
Staf konsulat itu berjalan ke sebelah. Cukup lama Nurdin dan isterinya menanti. Kemudian pintu terbuka perlahan-lahan. Dan di pintu, dengan keheranan baik Nurdin maupun Salma menatap, seorang gadis cantik tegak disana. Mirip gadis Jepang.
“Selamat siang, apakah saya berhadapan dengan tuan Overste Nurdin..?” gadis itu bicara dalam bahasa Indonesia yang fasih.
“Ya. Sayalah orangnya. Silahkan masuk. Ini isteri saya. Maaf, saya tak bisa bangkit…”
Gadis itu melangkah masuk. Salma berdiri menyambutnya. Kedua perempuan cantik itu bersalaman dan saling pandang.
@
Tikam Samurai - III