Dan kejadia selanjutnya, yaitu munculnya ketiga anggota Kumagaigumi itu, kemudian dialok Zato Ichi dengan mereka, membuat persoalan jadi jelas bagi si Bungsu.
Sambil tetap telungkup, pura-pura mati, dia mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi sekaligus dia juga mengatur pernafasannnya. Dia memang dibuat seperti akan lumpuh oleh pengaruh racun yang terminum dalam obat itu.
Untung saja racun itu hanya sedikit yang dia minum. Obat itu tak dia teguk semua karena firasatnya berkata bahwa ada yang tak beres dengan obat tersebut.
Lalu dia bangkit menabskan samurainya pada saat yang tepat sekali. Yaitu ketika ketiga orang itu akan mengeroyok Zato Ichi.
Kini dia mengatur pernafasannya. Memang tak pulih seperti sediakala. Racun itu masih menggerogoti tubuh dan darahnya. Namun keadaan sudah jauh lebih baik. Dia membuka mata, dan melihat tubuh Zato Ichi terbaring diam.
Dengan mengumpulkan tenaganya si Bungsu melangkah mendekati Zato Ichi. Dari gelombang didadanya, dia tahu lelaki itu masih hidup.
Dia tak mungkin mengangkat tubuh Zato Ichi ke dalam. Satu-satunya jalan adalah menyeret tubuhnya ke rumah kayu itu.
Namun perkelahian di depan rumah di belakang kuil itu bukan merupakan perkelahian yang terakhir bagi si Bungsu.
Empat hari setelah itu, sekawanan anggota Kumagaigumi mengepung tempat itu kembali. Jumlah mereka tak kurang dari sepeuluh orang. Si Bungsu yang memang telah waspada, mendengar kedatangan mereka sebelum mereka sampai ke rumah tersebut.
Dia tenagh meramu obat sesuai dengan petunjuk Zato Ichi ketika langkah kaki kesepuluh orang itu tertangkap oleh telinganya.
Dia menatap pada Zato Ichi, pendekar Jepang itu, yang terbaring lemah, yang juga mendengar suara kaki mengitari rumah dimana mereka tinggal itu, berusaha untuk bangkit.
Tapi dia segera terbaring lagi dengan meringis. Luka di perutnya tak segera bisa sembuh. Meskipun obat yang diramu si Bungsu sama dengan yang dia ramu untuk mengobati luka si Bungsu dahulu.
Meski kemujaraban obatnya sama, tapi perbedaan usia mereka membuat daya kerja obat itu berbeda pula kemanjurannya.
Pada tubuh si Bungsu, lukanya cepat sekali jadi sembuh oleh obat itu, sebab usianya masih muda. Karena itu rekasi jaringan darahnya bekerja cepat begitu dibubuhi obat.
Lain halnya pada tubuh Zato Ichi. Usianya yang telah amat tua menyebabkan reaksi jaringan darah ditubuhnya bekerja lebih lambat. Makanya lukanya jadi lambat pula untuk sembuh.
Zato Ichi ingin menghadapi orang yang mengepung rumah ini bersama dengan si Bungsu. namun lukanya tak mengizinkan.
“Tidak udah khawatir Ichi-san. Berbaringlah dengan diam. Saya akan membereskan mereka…” suara si Bungsu terdengar perlahan.
Zato Ichi menatap padanya dengan perasaan menyesal.
“Pergilah Bungsu-san. Tinggalkan tempat ini. Engkau masih bisa menyelamatkan dirimu…”
Si Bungsu tersenyum.
“Kenapa harus lari dari mereka? Tidak, mereka menginginkan saya, dan itu akan mereka peroleh…”
“Saya terlalu lemah Bungsu-san. Saya tak bisa membantumu…”
“Tetaplah disini Ichi-san. Saya akan menghadapi mereka…”
Dan si Bungsu meraih samurainya. Tubuhnya kini memang sudah sembuh benar.
Angin menerpa wajahnya ketika dia tegak di pintu rumah kayu di belakang kuil tua itu. Dan kesepuluh orang Kumagaigumi itu tegak membentuk setengah lingkaran dihadapannya.
Mereka semua diam.
Si Bungsu juga diam.
Mereka saling tatap dan saling mengukur.
Si Bungsu dapat menduga, bahwa yang datang ini tentulah bukan sembarangan orang.
“Engkau yang bernama si Bungsu dari Indonesia?”
Seorang lelaki berkepala botak, yang mirip pendeta di kuil Shimogamo, bertanya dengan suara datar dan dingin.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia menyapu kesepuluh orang itu dengan tatapan mata menyelidik. Bagaimana dia harus menghadapi orang sebanyak ini?
Tapi akhirnya dia mengangguk ketika orang gemuk itu kembali bertanya tentang namanya.
“Dimana Zato Ichi…?” kembali si kepalabotak itu bertanya setelah si Bungsu mengangguk.
“Dia ada di dalam…” jawabnya.
“Suruh keluar dia…”
“Dia tak bisa keluar. Dia sakit…”
“Dia harus keluar. Katakan bahwa pimpinan Kuil Kofukuji dari Nara datang menuntut balas…”
@
Tikam Samurai - II