Seorang anak muda kelihatan tersandar ke dinding di lantai. Dada dan tangannya berlumur darah. Nampaknya dia kena bacokan samurai pula. Siti kelihatan menangis di dapur. Baju di punggungnya robek panjang. Dari robekan itu kelihatan darah merengas tipis. Di antara mereka kelihatan keempat serdadu jepang itu telah jadi mayat. Samurai-samurai mereka kelihatan berlumur darah.
”Mereka mabuk. Minum sake dan minta kopi. Kemudian entah apa sebabnya mereka lalu saling mencabut samurai. Main bacok. Kami tak sempat menghindar…saya terkena bacokan, entah samurai siapa saya tak tahu. Anak muda itu yang sudah sejak sore tadi terkurung hujan juga kena sabetan samurai….Siti juga…”
Lelaki pemilik kedai itu bercerita dengan wajah pucat penuh takut.
”Lihatlah kedai saya…centang perenang. Saya rugi…” katanya.
Tiga orang Kempetai yang juga ikut nampak sibuk mempelajari situasi kedai itu dan mencatat di buku laporan mereka.
”Saya sudah bilang jangan biarkan mereka minum sake dalam tugas..”
Komandan Kempetai itu berkata dengan berang. Kemudian menghadap pada pemilik kedai.
”Maaf, anak buah saya membuat kekacauan. Dia sudah pantas menerima kematian atas kebodohan mereka ini. Bapak besok bisa datang ke Markas. Kami ingin minta keterangan tambahan dan memberikan ganti rugi yang timbul malam ini. Kami tak mau tentara jepang merugikan rakyat…Nipong Indonesia sama-sama. Nipong saudara tua, Indonesia saudara muda…”
Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut mayat-mayat itu ke markas.
Penduduk lalu berkerumun menanyai pemilik kedai. Tetapi lelaki itu segera menutup kedainya. orang terpaksa pulang karena hujan makin lebat. Kini dalam kedai yang centang perenang itu, tinggalah mereka bertiga. Siti menghentikan tangis pura-puranya. Ayahnya terduduk lemah. Si Bungsu bangkit. Merogoh kantong. Mengambil sebungkus kecil ramuan. Mengeluarkannya, kemudian dia mendekati Siti. ”Menunduklah. Saya mempunyai obat luka yang manjur…” katanya.
Siti menurut. si bungsu menaburkan obat ramuan yang dia bawa dari gunung Sago itu ke luka di punggung gadis tersebut. Ramuan itu mendatangkan rasa sejuk dan nyaman di luka itu.
”Terima kasih… gadis itu berkata perlahan.
Luka itu sengaja dibuat oleh si bungsu dengan samurainya. Agar kelihatan bahwa memang ada perkelahian dalam kedai itu. Demikian pula samurai jepang itu dia lumuri dengan darah. Kemudian dia juga menaburkan bubuk obat itu di luka yang dia buat di dada ayah Siti. Lelaki itu menatap padanya.
”Maaf saya harus berbuat ini pada Bapak…” katanya perlahan
”Kami yang harus berterima kasih padamu, Nak. Saya dengar engkau tadi menanyakan Tai-I (Kapten) Saburo Matsuyama pada serdadu-serdadu itu…”
Si bungsu tertegun.
”Benar. Bapak mengenalnya?”
”Tidak ada yang tak kenal padanya Nak..”
”Dimana dia sekarang?”
”Nampaknya ada sesuatu yang amat penting hingga kau mencarinya….”
Hampir saja si bungsu menceritakan apa yang telah menimpa keluarganya. Namun dia segera sadar, hal itu tak ada gunanya.
”Ya, ada sesuatu yang penting yang harus saya selesaikan..”
”Balas dendam?”
Kembali anak muda itu tertegun. Menatap dalam-dalam pada lelaki tua itu.
”Engkau menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakak perempuanmu?” Ucapan lelaki itu lagi lagi membuat si Bungsu terdiam.
”Tidak perlu kau sembunyikan padaku siapa dirimu Nak. Setiap orang di sekitar Gunung Sago ini mendengar tentang kematian ayahmu. Saya mengenalnya. Kami dulu sama-sama belajar silat Kumango. Dan semua orang juga mengetahui, bahwa anak lelakinya bernama si Bungsu…”
Anak muda itu menunduk.
”Apakah bapak mengetahui di mana Saburo kini?”
”Beberapa hari yang lalu masih di sini. Tapi tempat yang mudah mencari opsir jepang adalah di Lundang…”
”Di Lundang?”
”Di tepi batang Agam itu?”
”Ya. Di sanalah.”
”Ada apa di sana. Apakah mereka mendirikan markas di sana?”
”Tidak. Di sana tempat mereka memuaskan nafsu dengan perempuan-perempuan..”
”Tempat pelacuran?”
”Begitulah..”
”Terima kasih. Saya akan mencarinya ke sana.”
”Marilah kita naik. Besok kau teruskan perjalananmu. ”
@
I. Tikam Samurai