”Terima kasih Pak. Saya harus pergi sekarang.”
”Tapi hari hujan dan malam telah larut.”
”Tidak apa. Saya biasa berjalan dalam suasana bagaimanapun”
”Tapi bukankah engkau disuruh datang besok ke markas Kempetai?”
”Ah, saya kira biar Bapak saja. Katakan saya sudah pergi.”
”Engkau benar-benar tak ingin bermalam di sini agak semalam?”
”Terima kasih pak…”
Dia kemudian menoleh pada Siti yang masih duduk. Gadis itu menunduk.
”Terima kasih kopinya Siti. Engkau pandai membuatnya. Saya belum pernah minum seenak itu….”
Siti melihat padanya. Ada air menggenang di pelupuk matanya
”Benar kopi itu enak?” tanya gadis itu perlahan-
”Benar…”
”Saya lupa memberinya gula,” karena ketakutan Gadis itu berkata sambil bibirnya tersenyum malu.
”Ya, ya. Itulah justru kenapa kopinya jadi enak. Nah, selamat tinggal.”
Dia genggam tangan Siti sesaat. Kemudian melangkah keluar.
”Doa kami untukmu Nak…”
”Terima kasih Pak…”
”Kalau suatu hari kelak kau lewat di sini, singgahlah…”
”Pasti saya akan singgah..”
Dan dia lenyap ke dalam gelap yang basah di luar sana. Siti menangis ketika dia pergi. Ayahnya menarik nafas panjang.
—o0o—
Senja ini keduanya merasa perlu melayani anak muda itu. Soalnya belum pernah mereka dikunjungi urang awak, gagah pula. Mereka bercerita perlahan hilir mudik. Bercerita di bawah bayangan pohon cery. Minum teh manis dan makan pisang goreng. Anak muda itu kelihatannya bukan dari golongan orang berada. Pakaiannya sederhana saja. Pakai baju gunting Cina, celana Jawa dengan kain sarung menyilang dari bahu kiri ke kanan. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu. Kalau saja dia pakai Saluak, maka orang akan percaya bahwa pastilah dia seorang penghulu. Gayanya memang mirip seorang kepala kaum.
”Nampaknya uda tengah menanti seseorang….”, perempuan yang bekulit hitam manis, berhidung mancung dengan mata yang gemerlap dan menarik, berkata. Dia memperhatikan anak muda itu beberapa kali melirik ke gerbang setiap ada orang yang datang.
”Ada teman yang akan datang?” perempuan itu bertanya lagi.
”Ya, saya menanti seseorang.”
”Perempuan?”
”Tidak, bukankah kalian sudah ada?”
”Ya. Tapi kenapa sejak tadi hanya duduk saja di sini? Ayolah ke rumah…”. Perempuan yanng satu lagi, yang berkulit kuning dan dan bertubuh montok, berkata sambil menarik tangan anak muda itu. Umur kedua perempuan itu barangkali tak lebih dari 22 tahun. Masih terlalu muda.
”Tunggulah. Sebentar lagi mungkin dia datang. Tapi bagaimana saya akan ke rumah, kalian berdua.”
”Tak jadi soal. Bisa gantian toh Uda?” ujar perempuan hitam manis itu sambil mengerdipkan matanya yang indah. Muka anak muda itu jadi merah. Dia melirik ke meja di seberang sana, pada beberapa serdadu dan opsir Jepang yang sedang minum. Rasanya dia mengenal dua orang diantara mereka. Dia coba mengingat-ingat.
”Bagaimana? Ayolah ke rumah!” Perempuan cantik berkulit kuning itu merengek lagi sambil menarik tangannya. Saat itulah salah seorang dari serdadu Jepang yang duduk tak jauh darinya berdiri. Berjalan menuju meja di mana mereka duduk. Tubuh Jepang itu berdegap. Dia menatap pada kedua perempuan yang ada di samping anak muda itu.
”Hmmm…nona mari ikut aku…” katanya sambil memegang tangan si hitam manis. Perempuan itu menyentak tangannya.
”Maaf Kamura, saya sedang ada tamu…”, ujarnya mengelak. Jepang yang bernama Kamura dan berpangkat Gun Syo (Sersan Satu) itu menyeringai. Menatap pada tamu yang disebutkan si hitam manis tersebut. Ketika yang dia lihat tamunya itu hanyalah seorang lelaki tanggung, pribumi pula, dia tertawa. Memperlihatkan seringai yang memuakkan.
”Ha, kalian orang ada berdua. Ada si hitam ada si kuning. Kamu jangan serakah ya. Saya bawa yang hitam manis ini…” Jepang itu berkata sambil tetap menyeret tangan si hitam manis. Tak ada daya perempuan itu selain menuruti kehendak Kamura. Teman-temannya tertawa dan bertepuk tangan. Sementara itu si cant ik berkulit kuning segera merapatkan duduknya dan memegang lengan anak muda itu erat-erat.
”Cepatlah kita ke bilik. Nanti datang yang lain membawa saya…”, perempuan itu merengek lagi. Anak muda itu, yang tak lain dari pada si Bungsu tak mendengar ucapan si cantik ini. Pikirannya tengah melayang. Dia coba mengingat seringai buruk Gun Syo Kamura tadi. Dimana dia pernah melihatnya? Tiba-tiba kini dia ingat. Bukankah Jepang itu yang menghadangnya ketika dia akan mendekati ayah, ibu dan kakaknya sewaktu penyergapan di rumah mereka dulu? Dia ingat peristiwa itu. Ayah, kakak dan ibunya baru saja diperintahkan untuk keluar dari persembuyian di atas loteng oleh Kapten Saburo.
@
I. Tikam Samurai