Ketika mereka muncul di tangga rumah Gadang, si Bungsu yang berada di antara kerumunan penduduk berlari ke depan sambil memanggil ayah dan ibunya. Tapi seorang serdadu Jepang bertubuh kurus menghadangnya. Dia berhenti, menatap pada serdadu kurus itu. Serdadu itu menyeringai. Dia tertegak ngeri di tempatnya. Nah, serdadu itulah tadi yang membawa si hitam manis ke atas. Dia tandai seringainya itu. Tadi dia lupa karena serdadu itu tubuhnya tidak lagi kurus seperti belasan purnama yang lalu. Kini tubuhnya besar berdegap. Senang nampaknya dia di Lima Puluh Kota ini.
”Kita masuk?” si cantik kuning itu gembira melihat dia tegak. Si Bungsu menatapnya.
”Ya. Kita masuk..” katanya. Dengan gembira si kuning itu memegang tangannya. Kemudian membimbingnya ke atas rumah di mana Kamura tadi juga masuk bersama kawannya si hitam manis. Di dalam kamar, si kuning cantik itu mendudukkan anak muda berwajah murung itu di tempat tidurnya yang beralaskan kain satin dan berbau harum.
”Duduklah. Mau minum apa?” tanyanya dengan manja. Si Bungsu menatap perempuan itu. Menatapnya diam-diam.
”Jangan memandang seperti itu Uda. Hatiku luluh uda buat….”, katanya manja sambil memegang kedua belah pipi si Bungsu.
”Kulihat engkau mencari seseorang kemari…” perempuan itu berbisik. Si Bungsu masih duduk diam. ”Kulihat engkau mengenali dan menaruh dendam pada Jepang yang tadi membawa temanku si hitam itu….” perempuan itu berkata lagi perlahan.
Si Bungsu mengagumi ketajaman penglihatan perempuan ini.
”Di balik matamu yang sayu, di balik wajahmu yang murung, tersimpan lahar gunung berapi. Yang akan memusnahkan orang-orang yang kau benci. Sesuatu yang sangat dahsyat dalam hidupmu pastilah telah terjadi. Sehingga engkau menyimpan demikian besar gumpalan dendam di hatimu. Apakah keluargamu dilaknati oleh Jepang?”
Si Bungsu benar-benar terkejut mendengar ucapan perempuan ini. Dia menerkanya seperti membaca halaman sebuah buku.
”Upik, siapa namamu?” tanyanya sambil menatap perempuan cantik itu.
”Tak perlu engkau ketahui. Setiap lelaki yang datang kemari menanyakan namaku. Kemudian mereka akan melupakannya.”
”Katakanlah, siapa namamu!”
”Mariam…”
”Mariam?”
”Ya”
”Apakah itu namamu yang sebenarnya?”
”Tak ada yang harus kusembunyikan. Sedang kehormatan saja di sini diperjual belikan. Apalah artinya menyembunyikan sebuah nama.”
”Maaf. Tapi engkau menerka diriku seperti sudah demikian engkau kenali…”
”Bagi orang lain mungkin sulit buat menebak siapa dirimu. Tapi tidak bagiku. Aku kenal apa yang ada dalam hatimu, karena aku jaga mengalami hal yang sama…”
”Keluargamu dibunuh Jepang?”
”Tepatnya suamiku…”
”Suamimu?”
”Ya. Aku yatim piatu. Ibu dan ayah meninggal setelah aku menikah dan suamiku di bunuh Jepang karena tak mau ikut ke Logas.Kemudian diriku mereka nistai. Tak cukup hanya demikian, aku mereka seret kemari. Pernah kucoba untuk melarikan diri, tapi negeri ini tak cukup luas untuk lepas dari jangkauan tangan Kempetai. Akhirnya aku diseret lagi kemari untuk memuaskan nafsu mereka. Di sini aku…hidup dan menanti mati.”
Perempuan itu mulai terisak. Si Bungsu jadi luluh hatinya. Perempuan secantik ini, yang barangkali sama cant iknya dengan Renobulan, bekas tunangannya dulu. Atau dengan Saleha. Atau dengan Siti. Kini terdampar di Lundang ini. Penuh noda. Dibenci orang kampungnya. Namun tahukah mereka apa penyebabnya maka dia sampai kemari?
”Mariam. Dimana kampungmu…” tanyanya sambil memegang bahu perempuan itu. Perempuan itu menghapus air mata. Berusaha menahan tangis.
”Saya berasal dari Pekan Selasa…”, jawabnya perlahan.
”Engkau kenal siapa yang menistai dirimu dan yang membunuh suamimu, Mariam?” ”Jepang yang tadi membawa teman saya, yang berkulit hitam manis itu salah seorang di antara mereka….”
”Maksudmu Jepang yang tadi dipanggil dengan nama Kamura oleh temanmu itu?” Mariam mengangguk.
”Jahanam. Dia jugalah yang dulu ikut membantai kedua orang tuak dan kakakku. Dia yang menerjangku ketika aku lari ke arah ayahku…” desis si Bungsu.
”Siapa lagi yang kau kenal Mariam?”
”Saya tak ingat. Tapi komandannya adalah Saburo…”
Si Bungsu tersentak. ”Saburo?” katanya mendesis tajam.
@
I. Tikam Samurai