”Ya, Saburo!. Kenapa…?” Mariam tertegun kecut melihat sikap si Bungsu.
”Dialah yang telah membunuh ayah, ibu dan memperkosa kakakku sebelum dia dibunuh. Kemudian dialah yang membabat punggungku dengan samurainya. Jahanam. Di mana dia kini…?!” Suara Si Bungsu hampir saja tak bisa di kontrol jika tidak cepat-cepat mulutnya ditutup dengan tangan oleh Mariam.
”Tenanglah. Kamura di sebelah. Saya tak tahu dimana Saburo. Sudah lama dia tak datang kemari. Padahal biasanya tiap malam dia pasti datang…”
”Mariam. Apakah engkau tak berniat untuk meninggalkan tempat ini?”
”Kemana?”
”Kemana saja. Asal jangan kembali ke tempat ini. Barangkali kau bisa hidup dengan tenang si suatu tempat. Dengan seorang suami….” Mariam mulai lagi terisak.
”Siapa yang tak menginginkan kehidupan yang tentram dengan seorang suami? Itulah dulu yang kuinginkan ketika kawin dengan pemuda yang kucintai sampai Saburo membunuhnya. Dan kini, siapa lagi lelaki yang mau menerimaku sebagai isterinya?”
”Tapi engkau juga tak mungkin di sini terus Mariam…”
”Lalu akan kemana aku?”
”Carilah suatu tempat yang jauh dari sini. Mungkin ada lelaki yang mencintaimu. Engkau masih muda dan …. cantik….”
”Takkan ada yang mau, apalagi bila mereka tahu siapa aku…”
”Engkau belum mencobanya. Jangan menyerah sebelum kau coba….”
”Baiklah, akan kucoba sekarang. Aku mau meninggalkan tempat ini. Aku mau pergi kalau kau menikahiku. Apakah kau bersedia menjadi suamiku?”
Si Bungsu tertegun. Dia tak menduga perempuan ini akan berkata begitu. Melihat dia tertegun, Mariam berkata lagi.
”Jangan coba mengelak dengan mengatakan bahwa engkau telah punya isteri. Saya mengenal lelaki yang telah kawin dengan yang masih bujangan. Nah, maukah engkau menikah denganku?” Perempuan itu menatap nanap padanya. Si Bungsu terdiam, peluh mulai membasai tubuhnya. Mula-mula dia masih bisa menatap Mariam. Tapi kemudian dia tertunduk Mariam terisak. Menelungkup di tilam tipis di pembaringannya. Si Bungsu jadi serba salah. Perlahan dia pegang bahu perempuan itu, mendudukkannya, kemudian tiba-tiba Mariam memeluknya sambil menangis.
”Diamlah…jangan menangis..” ujarnya pelan. Ketika perempuan itu masih terisak, perlahan di pegang wajahnya. Entah apa yang mendorongnya, tahutahu pipi perempuan itu diciumnya. Lalu..dengan lembut ciumannya pindah ke bibir perempuan itu. Perempuan itu sesaat masih terisak. Kemudian terdiam, laqlu membalas ciuman si Bungsu. Tapi kemudian tiba-tiba dia melepaskan bibirnya dari bibir si Bungsu. Si Bungsu kaget dan malu.
”Aku perempuan pertama yang kau cium, Uda?” Mariam bertanya dengan suara gemetar. Si Bungsu ingin mengangguk. Namun anggukannya tak jadi. Ingin menggeleng, tapi dia tak bisa berdusta. Perasaan malu dan takut bercampur aduk.
”Terima kasih Uda. Engkau membuat aku bahagia. Akan kukenang ciuman ini,” Mariam berkata sambil menghapus air matanya. Si Bungsu menarik nafas lega, kemudian berkata pelan.
”Menghindarlah dari rumah ini Mariam. Akan terjadi huru-hara sebentar lagi…”
”Sudah lama aku memimpikan melihat seorang Minangkabau melawan Jepang. Membunuhnya, berkelahi dengan mereka. Mungkin mereka akan mati. Namun di hatiku, mereka tetap seorang pahlawan. Sudah lama aku ingin melilhat hal itu terjadi. Betapa seorang lelaki Minangkabau tegak dengan perkasa menghadapi samurai Jepang yang zalim itu. Dan kini barangkali aku akan melihatnya. Kenapa aku harus pergi? Tidak, aku akan berada di sini sampai huru hara itu usai, Uda…”
Si Bungsu tak lagi bekata. Dia tegak dan melangkah. Kemudian membuka pintu. Berbelok ke kanan. Menerjang pintu kamar dimana Kamura tadi masuk dengan perempuan berkulit hitam manis itu.
Kamura yang tadi membawa si Hitam Manis kini tengah bermandi peluh dalam kamar tersebut. Si Hitam Manis juga bermandi peluh. Tubuhnya yang tak berkain tertelentang. Sebelah kakinya terjuntai kebawah tempat tidur. Dan Kamura sedang duduk di lantai di antara kaki si Hitam Manis ketika tiba-tiba pintu kamarnya dihantam hingga terbuka. Kamura terlompat bangun. Si Hitam Manis hanya menelungkupkan tubuhnya. Dia menyangka yang masuk adalah kawan Kamura. Sebab sudah biasa Jepang–Jepang itu bergantian masuk kesebuah bilik bila temannya telah puas. Namun kini yang masuk bukanlah tentara Jepang, melainkan si Bungsu. Kamura memaki berang melihat yang masuk ternyata seorang Melayu.
”Bagero !. Masuk siapa kemari yang kamu berani, he !? ” bentaknya terbalik-balik. Padahal yang ingin dia ucapkan adalah ”Siapa kamu yang berani masuk kemari, he”
Mata si Bungsu menyipit. Mulutnya terkatup rapat. Kemudian dari sela bibirnya terdengar suara mendesis :
”Aku anak Datuk Berbangsa dari kampung Situjuh Ladang Laweh. Yang kalian bunuh dua tahun yang lalu. Dimana Saburo kini ? ”
Tanpa lebih dahulu memakai celananya. Kamura menerjang si Bungsu. Namun si Bungsu sudah siap. Dia mengelak. Tubuh Kamura yang telanjang bulat itu menerpa pintu. Kemudian terpelanting ke ruangan tengah. Si Hitam Manis terpekik. Di ruang tengah, dua orang serdadu Jepang yang tengah keluar jadi tertegun
@
I. Tikam Samurai