“Engkau tak bermimpi sayangku. Engkau tak bermimpi Itu akan jadi kenyataan. Percayalah. Aku juga mencintaimu. Mei-mei dengarilah, aku mencintaimu. Kau dengar ucapanku? Aku mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mei-mei …” Mata gadis itu terpejam.
“Mei-mei ..” Si Bungsu memanggil. Memanggil di antara tangisnya. “Mei-mei kau dengar aku sayang ? Aku mencintaimu, kita akan segera menikah…”
Mei-mei membuka matanya. Perlahan sekali. Wajahnya bersemu merah. Dia seperti tersenyum. Bibirnya bergerak. Namun tak ada suara.
“Mei-mei … Mei-meiii..”
“Ko … koko. Benarkah itu.. ?”
“Tuhan jadi saksinya sayang. Tuhan saksinya. Tuhan yang aku sembah. Tuhan yang engkau sembah ..”
“Koko … ciumlah aku …”
Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah Mei-mei. Mata gadis itu terpejam. Bibirnya mengurak senyum. Namun kaki dan tangannya terasa dingin. Si Bungsu mencium kening gadis itu perlahan. Kemudian mengecup bibirnya perlahan. Nafas Mei-mei terasa panas. Dan manik manik air mata mengalir dipipinya.
“Koko sayang …” desahnya amat pelan.
Mei-mei tidak menjawab. si Bungsu menguncang tubuhnya. Namun Mei-mei terlalu banyak mengeluarkan darah. Dia jatuh pingsan.
“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.
Dia mendekatkan telinganya ke dada gadis itu. Pelan pelan terdengar degup jantungnya. Amat perlahan.
“Ya Tuhan, ya Tuhan. Selamatkan dia. Selamatkan dia. Tolonglah nyawanya ya Tuhan …” dia berdoa diantara matanya yang basah.
“Bungsu ..” tiba tiba ada suara memanggilnya.
Dia menoleh. Dibelakangnya berdiri tegak Datuk Penghulu. Datuk itu tegak terdiam menatap rumahnya yang rata dengan tanah. Yang sisi pekarangannya sedang dijilati api. Kenapa dia tiba tiba saja sampai ada di sini?
-000-
Sejak dua hari yang lalu dia pergi ke Padang panjang. Di Diniyah Putri tengah berlangsung rapat perjuangan yang dipimpin oleh Engku Syafei. Tak ada tempat yang paling aman untuk rapat kecuali ruangan belakang sekolah Diniyah Puteri itu. Sebab, encik Rahmah El Yunusiah yang memimpin sekolah itu amat disegani oleh balatentara Jepang. Rahmah tak pernah mau dibujuk untuk menerima bantuan bagi sekolahnya. Sejak pemerintahan Belanda Rahmah sudah bertegas tegas menolak bantuan dari penjajah. Kini Jepang yang menjajah.
Dia tahu Jepang adalah fasis yang amat kejam. Dan itu segera terbukti. Rahmah menjadi salah seorang pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun. Dalam rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umum nya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas, tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi diberbagai kota.
“Saya lihat engku Datuk tidak tenang. Barangkali teringat pada keluarga di Bukit tinggi ?” Encik Rahmah yang bermata amat tajam bertanya.
Datuk Penghulu terkejut. Namun dia tak mau mendustai kata hatinya. Dia memang gelisah. Pikirannya ke rumah saja. Seperti ada yang tak selesai rasanya.
“Benar. Saya khawatir kalau-kalau ada yang terjadi atas anak istri saya …” katanya.
Encik Rahmah memandang kepada Engku Syafei. Engku Syafei dari Kayu Tanam itu mengangguk. Orang orang ini adalah orang orang yang arif. Mereka seperti dapat membaca, bahwa akan ada musibah yang bakal menimpa diri Datuk itu.
“Saya sebenarnya tidak begitu khawatir. Sebab keluarga saya tinggal bersama seorang anak muda yang tangguh. Yang bernama si Bungsu …”
Engku Syafei dan encik Rahmah saling pandang lagi begitu nama si Bungsu disebut. Si Bungsu. Nama itu sudah demikian terkenal.
“Kiranya dia berada di rumahmu Datuk?”
“Ya. Sudah cukup lama. Saya memang tak memberitahukannya pada encik dan pak syafei”
“Hmm. Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda pemuda kita”
“Ya. Karena ada dialah, saya berani datang kemari dengan meninggalkan keluarga saya. Tapi sejak kemaren hati saya tak sedap …”
“Saya rasa lebih baik Datuk pulang dulu. Rapat ini hanya tinggal menyelesaikan yang kecil kecil saja. Besok saya kirim kurir untuk menyampaikan putusan …” ujar Engku Syafei.
“Baiklah. saya berharap bisa sampai malam nanti di rumah …”
Datuk Penghulu lalu tegak. Meninggalkan rapat rahasia yang jumlah pengikutnya lima belas orang itu. Kini dia telah berada dirumahnya. Tapi telah terlambat. Rumahnya sudah rata dengan tanah. Sisanya marak dimakan api. Tubuhnya terasa linu. Di depan api dia lihat si Bungsu memeluk tubuh Mei-mei.
“Mana etek dan adikmu Bungsu …?”
Datuk itu bertanya dari tempat tegaknya. Pertanyaan perlahan. Bungsu meletakkan tubuh Mei-mei. Kemudian menghadap pada Datuk itu.
@
I. Tikam Samurai