“Maafkan saya pak … mereka …”
Bungsu tak dapat melanjutkan ucapannya. Bagaimana dia akan berkata. Bagaimana dia akan menyampaikan musibah itu? Dia memang tak perlu menyampaikannya.
Begitu mula datang tadi, Datuk ini sudah dapat menduga apa yang terjadi. Dia sudah menduga bahwa istri dan anaknya telah binasa. Matanya menyapu sekitar tempat itu. Di balik unggun rumahnya yang telah runtuh, dia lihat sesosok tubuh terbujur ditutupi kain. Dekat batang pisang, dia lihat tubuh si Upik, anaknya.
Lelaki tua itu, yang sehari hari adalah kusir bendi, tapi dalam jiwanya berkobar semangat perjuangan untuk kemerdekaan bagi bangsanya itu, tertegak dengan diam. Matanya bergantian menatap kedua mayat anak dan istrinya. Perlahan di pipinya yang tua kelihatan air mata mengalir. Si Bungsu jadi kagum melihat ketabahan orangtua ini. Dia sudah melihat jenazah anak dan istrinya. Namun setapakpun dia tak beranjak dari tempatnya.
“Kalian menjadi orang pertama yang meninggal sebagai korban perang kemerdekaan di kota ini. Semoga Tuhan menerima kalian …” dia berkata perlahan pada anak dan istrinya.
Ya, kedua anak beranak itu, korban korban pertama di kota Jam Gadang itu dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Mereka memang tak terlibat langsung dalam peperangan itu. Sebab perang kemerdekaan belum lagi dimulai. Sementara di Payakumbuh, ayah si Bungsu dan teman temannya yang mati di tangan Kempetai lebih dari setahun yang lalu, merupakan tumbal pertama pula bagi perang kemerdekaan yang akan meletus itu. Datuk Penghulu masih tertegak melihat mayat anak dan istrinya dari jauh. Melihat api menjilat sisa rumahnya. Si Bungsu yang tadi heran melihat kenapa Datuk itu tak mau mendekat mayat istri dan anaknya, tiba tiba merasa tegang.
Diantara gemertak suara api memakan sisa rumah, di antara kesepian yang mencekap di hutan bambu Kampung Tarok itu nalurinya menangkap sesuatu. Naluri yang dia bawa turun dari gunung Sago. Setahun dia hidup di rimba belantara itu. Hidup dan bersaing dengan kekerasan dan keganasan alam. Hidup dan belajar untuk tetap bertahan tak mati dari keganasan binatang buas.
Naluri yang sudah tertempa. Karena dia manusia, maka nalurinya melebihi naluri hewan buas di hutan. Kini, dia menangkap sesuatu yang mengancam jiwa. Ancaman itu datang dari sekitar tempat mereka kini tegak. Datang dari arah kegelapan hutan bambu yang tegak seperti iblis mengelilingi mereka. Ketinggian pohon pohon bambu di kampung Padang Gamuak Tarok itu seperti tangan elmaut yang siap mencekik leher mereka.
Tubuhnya jadi tegang. Telinganya yang amat tajam, yang terlatih selama dua tahun di rimba gunung sago, menangkap bunyi-bunyi halus di belakangnya. Dia melihat Datuk Penghulu itu masih tegak diam. Jarak antara dia dan Datuk itu sekitar dua depa.
“Ada orang datang pak Datuk …” Katanya perlahan sekali. Tapi suaranya yang perlahan itu terdengar oleh Datuk tersebut.
“Ya. Tapi berbuatlah seperti kita tak tahu. Mereka enam orang berbedil dan mereka adalah Kempetai …”
Ujar si Datuk perlahan. Si Bungsu jadi kaget. Dia hanya baru taraf mengetahui bahwa ada orang datang. Tapi Datuk itu telah mengetahui jumlahnya. Dan mengetahui bahwa yang datang itu adalah serdadu Jepang. Dia telah menjalani latihan setahun penuh. Belajar dari binatang buas di gunung Sago. Kepandaiannya dalam mendengarkan sesuatu yang jauh sangat tajam. Tapi Datuk Penghulu ternyata punya firasat lebih tajam lagi. Bayangkan betapa tingginya ilmu Datuk itu. Diam diam si Bungsu memuji ketinggian ilmu orang tua ini.
“Biarkan tubuh Mei-mei di sana. Mereka pasti menyangka gadis itu telah mati. Hitung enam hitungan setelah ini. Kemudian melompatlah. Kita balas kejahanaman mereka,” ujar Datuk perlahan.
Begitu habis ucapannya, tiba-tiba Datuk itu memekik. Tubuhnya melenting dan tiba-tiba bergulung lenyap kedalam palunan semak empat depa sebelah kanan Si Bungsu mengikuti. Dengan mempergunakan lompat tupai yang sangat mahir, tubuhnya bergulingan ke belakang. Dan lenyap ke balik pohon buluh. Saat itu pulalah enam senjata meledak. Tapi tembakan itu menemui tempat kosong. Terdengar makian dalam bahasa Jepang.
Tentara Jepang itu, setelah sampai ke markasnya rupanya segera diperintahkan lagi oleh komandannya untuk kembali.
“Mereka pasti pulang. Dan tangkap Datuk itu atau anak muda yang bernama si Bungsu keparat itu. Dia baru saja membunuh dua orang Kempetai di pasar sebentar ini …” Ujar komandan Kempetai itu berang.
Enam orang Kempetai segera kembali ke Tarok. Dan memang benar, mereka datang persis ketika Datuk Penghulu itu sampai di sana. Mereka lalu mengendap-endap mendekati kedua orang itu. Maksudnya untuk menyergap mereka setelah dekat. Ternyata kedatangan mereka diketahui kedua orang itu.
“Datuk. Menyerahlah ..” seorang Kempetai berpangkat syo cho (sersan mayor) berteriak.
Namun yang menyahut hanyalah sepi. Dia memberi isyarat. Dan enam bedil di tangan mereka kembali menyalak. Tiga ke arah semak dimana Datuk Penghulu tadi lenyap. Tiga lagi kearah lenyapnya si Bungsu. Kedua tempat itu dirobek-robek peluru. Namun tak ada suara apa apa. Kempetai itu nampaknya sudah bertekad untuk membunuh saja kedua orang ini.
@
I. Tikam Samurai