“Jahanam …” Sersan itu menyumpah.
Tetapi saat itu pula dari arah kiri mereka sebuah bayangan berkelebat. Datuk Penghulu menghambur. Seorang Hei-cho (Kopral) yang tegak paling belakang tiba-tiba melihat kehadiran Datuk itu di depannya. Dia mengangkat bedil. Namun kaki Datuk itu bekerja cepat sekali tendangan pertama mendarat di kerampang Jepang itu. Jepang itu memekik. Namun sebelum pekikannya habis tendangan kedua menghantam lehernya disusul sebuah tusukan jari tangan yang amat cepat dan amat kuat. Terdengar Jepang itu meraung.
Kedua biji matanya tercukil keluar. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sehingga ketika kelima Kempetai yang lain menoleh, yang kelihatan hanyalah bayangan tubuh Datuk itu lenyap ke dalam palunan semak. Kembali lima senjata menyalak kearah semak itu. Namun sepi. Kempetai yang satu itu meraung, matanya buta seketika. Namun raungnya tiba-tiba terhenti. Kedua tendangan Datuk itu ternyata mengakhiri penderitaannya. Sersan Mayor tadi memerintahkan untuk membuat lingkaran dengan membelakangi satu sama lain. Dengan demikian tak ada kemungkinan diserang dari belakang.
Krosaakk…!!
Terdengar semak berisik di sebelah kiri mereka. segera saja senjata mereka terarah dan memuntahkan peluru ke arah itu. Tapi begitu senjata mereka menyalak dan mereka memandang ke arah semak itu, tubuh Datuk Penghulu kembali muncul di sebelah kanan. Kini sebilah keris di tangannya. Tanpa memberi ampun, kerisnya beraksi. seorang Kempetai berpangkat Nitto-Hei (Prajurit dua) pertama-tama jadi sasaran. Dia akan memalingkan kepala melihat Datuk yang muncul tiba-tiba itu, tapi itulah gerakannya yang terakhir. Karena setelah itu lehernya hampir putus ditebas Datuk Penghulu. Sasaran berikutnya adalah prajurit di kanannya. Sebuah tendangan mematahkan rusuknya. Ketika ia melenguh, sebuah cuek belakang menghantam jantungnya. Sesuai cuek itu tubuh si Datuk melompat dan lenyap ke dalam gelapan kedua Jepang itu mati.
“Bageroooo…!! si sersan mayor berteriak berang.
Dalam waktu hanya sepuluh hitungan, tiga orang anak buahnya mati. Kini mereka jadi gugup dan tegang. Sersan mayor itu berniat untuk menarik regunya. Untuk melanjutkan menyerang membabi buta tak mungkin. Mereka memang punya bedil tapi daerah ini bukan daerah mereka, cuaca sangat gelap, satu-satunya cahaya penerangan hanyalah cahaya api bekas rumah Datuk yang terbakar itu. Itupun cahayanya sangat sedikit.
Mereka bisa saja menembak tak menentu. Tapi kedua orang itu bisa menghindar sebelum bedil meledak. Sebab mereka berada dalam kegelapan. Lagipula mereka mengenal setiap jengkal semak dan hutan bambu di kampung itu.
“Kami akan kemari lagi. Kami akan menangkap kalian. Awaslah..!!”
Seru si sersan menggertak. Lalu dia memberi isyarat pada kedua temannya untuk mengundurkan diri. Mereka mulai melangkah langkah demi langkah dengan senjata siap ditembakkan. Dari semak persembunyiannya, Datuk Penghulu melihat mereka dengan penuh dendam dan kebencian.
“Giliranmu, Bungsu..!”
Dia berseru dari tempat persembunyiannya. Begitu suaranya terdengar, begitu ketiga Kempetai itu menembaki tempat gelap tersebut. Namun Datuk ini sudah pindah tempat. Dia bergerak amat cepat. Kembali Kempetai itu menembaki tempat kosong.
Akan halnya si Bungsu, sejak tadi menonton saja dari persembunyiannya bagaimana Datuk itu membantai ketiga Jepang tersebut. Dia kagum pada gerakan silat Datuk Penghulu itu. Dan kini dia mendengar Datuk itu meminta dia bertindak. Ketiga Kempetai itu mundur terus. Selangkah, dua, tiga, empat, lima. Tak terlihat ada gerakan dari si Bungsu. Datuk Penghulu menatap terus. Dia yakin anak muda itu akan bertindak. Kempetai itu makin jauh.
“Siap-siaplah untuk lari. Kampung ini kampung setan,”
Bisik si sersan mayor pada kedua temannya. Teman-temannya dengan mata sipit yang dibesar-besarkan coba menembus kegelapan malam untuk melihat kalau-kalau kedua orang yang bersembunyi itu muncul.
“Nah sekarang lariii…!” sersan mayor itu berseru.
Kedua temannya segera balik kanan dan mulai melangkah lebar. Namun saat itu pula sedepa di depan mereka pohon-pohon bambu pada bertumbangan kejalan yang bakal mereka lalui. Tidak hanya dua tiga batang. Pohon bambu itu tumbang dalam jumlah puluhan batang. Kempetai itu jadi kalang kabut. Ada yang tertelungkup kesandung, ada yang takapere mencoba mengelak dari bambu yang rubuh seperti hujan lebat dalam gelap itu. Datuk penghulu menatap kejadian itu dengan tersenyum tipis. Si Bungsu mulai beraksi.
Ternyata dia yang membabat rumpun bambu di pinggir jalan yang akan dilalui sebagai tempat lari oleh para Kempetai.
“Bagero. Bagerooo. Bageroo. Ute Utee Utee (tembak)”
Sersan mayor itu menghardik, memerintah dan bercarut bungkang memerintahkan agar kedua anak buahnya menembak, kearah mana saja dan apa saja. Pokoknya bedil meletus. Terdengar tiga bedil menyalak. Tapi tembakan mereka tak menentu. Ada yang menghadap ke atas. Ada yang ke tanah. Sebab pada waktu menembak mereka juga harus menghindarkan diri agar tak tertimpa pohon-pohon bambo yang runtuh seperti hujan. Lalu tiba-tiba sepi. Pohon bambu tak ada lagi yang runtuh.
@
I. Tikam Samurai