Tikam Samurai - 131

Yang orang Tapanuli kabarnya beberapa kali kerja di kapal. Kini mereka tengah menunggu kapal lain untuk melamar pekerjaan. Mereka sudah bosan bekerja di kapal kecil yang ke Kepulauan Riau. Mereka ingin bekerja di Kapal Besar yang trayeknya ke luar negeri.
Sementara yang orang Jawa kabarnya adalah mantri kebun kelapa sawit. Mereka datang kemari untuk mengadakan penelitian terhadap peremajaan kebun-kebun kelapa sawit. Hanya malangnya tak diketahui kenapa mereka sampai ke Pekanbaru.
Di kota ini yang mereka jumpai hanya kebun karet. Tak sepohonpun kelapa sawit. Kabarnya mereka menanti kapal untuk membawa mereka kehilir. Menurut kabarnya pula di hilir kota ini, yaitu di Okura ada perkebunan kelapa sawit. Kesanalah mereka akan pergi.
Yang tak habis dimengerti oleh si Bungsu adalah, kenapa mereka bisa berangkat dengan meraba-raba begitu. Kalau mereka pegawai negeri, kenapa tak ada petunjuk yang pasti?
Tapi itu urusan mereka, pikirnya.
Sementara penginap-penginap lainnya umumnya orang Minang, pekerjaan mereka berbagai ragam. Siang hari dia lihat ada yang berjalan hilir mudik. Mencari barang yang patut dibeli dengan harga murah. Kemudian dijual dengan harga mahal. Tak peduli apa barangnya.
Ada juga pedagang-pedagang yang menanti kapal untuk berlayar ke Kepulauan Riau. Pedagang-pedagang ini sudah mempunyai bekal yang cukup. Ada yang membawa tembaga, aluminium, ada pula yang membawa kain batik. Kabarnya barang-barang seperti itu amat laris di Kepulauan Riau atau di Malaya.
Sementara ada pula yang malam-malam hari menggelar tikar dihalaman penginapan. Memasang lampu, kemudian meniup salung. Yang satu lagi berdendang. Nah, kegiatan mereka inilah yang banyak menarik peminat. Hampir tiap malam halaman penginapan itu penuh oleh pengunjung yang ingin mendengarkan Saluang tersebut. Sudah tentu semuanya orang Minang.
Mereka pada melemparkan uang keatas tikar meinta lagu-lagu yang mereka sukai. Malam itu terang bulan. Di bawah kelihatan ramai sekali. Si Bungsu tak ikut turun. Dia hanya melihat dari jendela kamarnya yang kebetulan menghadap ke jalan.
Pada akhir bait-bait pantun selalu terdengar pekik sorak orang. Dan dari jendela si Bungsu melihat orang Amerika itu asik memotret-motret dengan tustelnya. Lampu pijarnya menyala-nyala. Setiap kali habis memotret, dia menukar lampunya yang telah hangus itu dengan yang baru.
Tapi si Bungsu hanya melihat yang lelaki. Sementara perempuannya yang bertubuh menggiurkan dan berwajah cantik itu tak kelihatan.
---o0o---
Anak muda ini sudah berniat untuk takkan menjatuhkan tangan kejam kepada orang. Sejak dia meninggalkan rumah Kari Basa di Bukittinggi, dia telah berniat demikian.
Ketika terjadi peristiwa dengan Datuk Hitam di Kedai dekat stasiun kereta api Payakumbuh itupun sebenarnya dia tak berniat untuk mencari huru hara.
Apalagi saat itu dia merasa berada di kampung halamannya. Dia tak sampai hati mencelakakan orang kampungnya sendiri.
Namun ada pendapat orang-orang tua, bahwa bagi seorang pemelihara “orang halus” meskipun dia telah berniat untuk tak lagi berhubungan, akan tetap ada kekuatan lain yang suatu saat memaksanya untuk berhubungan lagi dengan peliharaannya.
Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang yang mempunyai “harimau” untuk menjaga dirinya. Hal-hal seperti ini banyak terjadi di Minangkabau. Demikian pula halnya dengan si Bungsu. Meskipun dia telah berniat untuk tidak terlibat dalam perkelahian, tapi “himbauan” samurai itu mempunyai kekuatan sendiri.
Kekuatan itu terkadang datangnya tanpa dapat dicegah. Jika tidak dikehendaki oleh pemiliknya maka orang lainlah yang menghendaki.
Dalam hal peristiwa Datuk Hitam di Payakumbuh, yang memaksa dia untuk mepergunakan samurai itu justru Datukitu sendiri. Betapapun susahnya si Bungsu untuk menahan diri agar tak tersinggung, namun Datuk itu seperti “memaksa” agar dia mempergunakan samurainya.
Si Bungsu barangkali takkan marah kalau yang dihina Datuk itu dirinya saja. Tapi begitu Datuk itu memaksa perempuan muda itu untuk melakukan hal-hal yang tidak-tidak, amarahnya segera bangkit. Dan terjadilah peristiwa itu.
Di Pekanbaru ini, sejak mula untuk menghindarkan dirinya terlibat dalam perkelahian, dia sengaja meninggalkan samurainya di penginapan.
Berhari-hari dia berjalan di pelosok kota tanpa samurainya. Namun suatu hari, yaitu di hari ke enam dia berada di kota itu, entah apa sebabnya, tahu-tahu dia mendapatkan dirinya berada ditengah kota dengan samurai itu ditangannya.
Dia benar-benar jadi sadar ketika duduk minum kopi di sebuah lepau cina. Ketika akan duduk, dia meletakkan samurai itu di atas meja.
“Jangan disini tongkatmu diletakkan sanak, sandarkan saja dibawah….’ Kata orang yang duduk diseberang tempatnya.



@


Related Posts

Tikam Samurai - 131