Tikam Samurai - 130

Tapi jauh dari situ, didalam hutan-hutan karet yang terurus itu, masih sering orang diterkam harimau. Jauh arah ke barat, ada sebuah lapangan terbang darurat yang dulu dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Lapangan itu tak bernama. Terletak di kampung kecil yang berpenduduk sekitar seratus orang. Kampung itu bernama Simpang Tiga.
Tak ada yang baru di kota itu nampaknya. Tak ada yang bisa dibanggakan. Tapi anehnya, orang-orang dari Luhak nan Tigo, yaitu Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh banyak yang pindah kemari.
Mereka membuat rumah-rumah papan disepanjang pinggir jalan di Pasar Bawah. Pasar itu makin lama makin lebar ke barat. Akhirnya berdiri pula sederetan toko darurat di bahagian atas dari Pasar Bawah di dekat pelabuhan itu.
Orang-orang menyebutnya dengan Pasar Tengah. Disinilah pedagang-pedagang itu membuka toko. Menjual beras, sayur-sayuran dan menukarnya dengan karet.
Karet mereka jual pada kapal-kapal yang berlayar ke Kepulauan Riau untuk kemudian dijual ke Malaya dan Singapura. Kota ini udaranya terasa panas. Apalagi si Bungsu yang baru saja datang dari Bukittinggi.
Perbedaan udara terasa sekali. Namun dia merasa tenteram di kota ini. Disini tak ada orang yang mengenalnya. Dia bebas kemana-mana. Perjalanannya dengan truk dari Payakumbuh dahulu ternyata tak semudah dan secepatnya yang dia bayangkan. Disangkanya bisa dalam dua hari.Ternyata dia baru sampai setelah menelan waktu sepekan!.
Bayangkan, untuk menempuh jarak yang lebih kurang 200 km dari Payakumbuh itu dibutuhkan waktu sepekan! Berkali-kali truk gaek itu patah per. Berkali-kali bannya pecah. Berkali-kali truk itu terpuruk kedalam lobang jalan yang dalamnya sedalam Ngarai Sianok! Bah! Benar-benar perjalanan kalera!.
Dan ketika sampai ke Pekan Baru, semua sayur yang dibawa pedagang sudah jadi bubur. Yang selamat hanyalah beras dan bawang. Lain daripada itu luluh lantak semua.
Dan karena terlambat itu, si Bungsu telah ketinggalan kapal.
“Sudah lama berangkat kapal itu?” tanyanya pada seorang tua di pelabuhan.
“Maksudmu Kapal Suto Maru ke Singapura?” orang tua itu balik bertanya.
“Ya. Suto Maru itu..”
“Baru kemaren. Seharusnya lima hari yang lalu. Tapi karena kerusakan mesin, baru kemaren sore dia berangkat…’ Si Bungsu terterangah.
“Kemaren sore…”
“Ya. Kemaren..”
“Jam berapa?”
“Kalau tidak salah jam lima…”
Si Bungsu mengucap-ngucap kecil dalam hatinya. Kemaren sore jam tiga dia sudah sampai di Simpang Tiga. Celakanya truk tua itu rusak lagi disana. Tali kipasnya putus. Kaburatornya bocor. Dan mereka menanti sampai malam. Baru malam tadi dia masuk kota. Padahal jaraknya antara Simpang Tiga dengan kota ini hanya sembilan kilometer! Memang belum nasibnya untuk bisa berangkat.
Tapi kalaupun dia datang sore kemaren, dia akan susah jua. Sebab dia tak punya paspor. Nah, hari-hari tak ada kapal ini dia pergunakan untuk mengurus paspor. Dengan memberikan uang lebih banyak, paspornya cepat saja keluar.
Dalam keterangan dalam paspor itu disebutkan bahwa dia anak kapal. Dan pemberian paspor saat itu tak bertele-tele. Tak banyak berbelit-belit.
Untuk memudahkan mengetahui bila ada kapal ke Singapura atau ke Jepang yang datang, dia lalu menginap di sebuah penginapan kecil dekat pelabuhan itu.
Penginapan itu dua tingkat. Bangunannya terbuat dari papan. Bahagian atas untuk penginapan. Bahagian bawah rumah makan. Kalau akan mandi cukup menyebrangi jalan kecil di depan penginapan itu maka akan sampailah di Sungai Siak. Mandi mencebur saja di sungai itu.
Sungai itu airnya berwarna merah, airnya bagus untuk memasak atau diminum. Dan mencuci kain tak ada pengaruhnya. Artinya kain tak ikut menjadi merah karena warna air tersebut.
Sebagaimana jamaknya sebuah pelabuhan, kota itu menjadi persinggahan banyak orang. Tempat pertemuan banyak suku bangsa. Di penginapan kecil tempat si Bungsu menginap itujuga menginap berbagai suku.
Di kamar sebelahnya menginap dua orang Tapanuli. Di kamar depannya menginap orang Jawa. Dan bahkan di kamar depan sekali, yaitu kamar besar yang menghadap ke Sungai Siak, menginap dua orang asing. Mungkin orang Amerika. Yang satu lelaki, yang satu perempuan. Mereka kabarnya akan terus ke Kerajaan Siak Sri Indrapura jauh di hilir kota Pekanbaru ini. Mereka akan mengadakan penelitian sejarah.
Keduanya belum begitu berumur. Mungkin sekitar tiga puluh lima umurnya. Tapi yang perempuan bertubuh menggiurkan dan berwajah cantik. Kemana-mana mereka membawa alat pemotret.



@



Tikam Samurai - 130