Dua buah lampu petromaks milik mesjid dibawa keluar. Cahayanya menerangi halaman mesjid tersebut.
Tiba-tiba terdengar seruan. Orang berbondong-bondong mendekati harimau tengah dibelah itu.
Para perempuan berteriak kaget. Demikian pula lelaki. Dari dalam perut harimau itu, mereka mengeluarkan beberapa buah gelang dan cincin emas. Ada cincin berbatu akik besar.
“Gelang Sumi! Ya, ini gelang Sumi!!” terdengar teriakan-teriakan. Orang makinbanyak berkerumun.
“Nudin!Nudin! ini gelang istrimu!!” suara teriakan yang kacau balau timpa betimpa. Seorang lelaki dengankumis jarang menyeruak.
Dan dia tertegun tegak takkala melihat gelang emas yang baru diambil dari perut harimau besar itu. Kemudian terdengar dia memekik. Ditangannya terpegang pisau. Dan sebelum orang sempat mencegahnya pisau itu sudah merajah bangkai harimau tersebut. Dan ketika orang-orang sadar bahwa kulit harimau itu harus diselamatkan, maka kesadaran itu sudah terlambat.
Nudin sudah merajah harimau itu dengan caci maki sambil menikamkan pisaunya berulang kali. Dan akhirnya dia tertegak terperangah. Orang-orang yang melihatnya juga pada terperangah.
Bangkai harimau itu seperti dicencang.
“Kenapa dia? Si Bungsu berbisik perlahan pada Bilal yang tegak disisinya.
“Lima bulan yang lalu, dia kehilanganistri. Waktu itu dia pergi menjual ikan ke Pekanbaru. Sepeninggalnya istrinya pergi menakik getah. Ketika dia kembali sore hari, istrinya tak dirumah. Mereka baru saja tiga bulan menikah.
Ketika magrib datang, istrinya belum juga muncul, dia mulai mencari ke tetangga. Tapi para tetangga mengatakan bahwa tak melihat istrinya sejak pagi. Dia jadi curiga. Bukankah pagi tadi istrinya berkata akan pergi menakik getah?
Bersama penduduk dia menyusul istrinya ke kebun getah mereka di hilir kampung sana. Dengan membawa suluh daun kelapa, mereka meneliti kebun tersebut.
Dan dekat sepohon karet yang dikelilingi semak rimbun, mereka menemukan jejak-jejak. Ada terompa, ada kantong tempat getah segrap. Ada darah dan tanah yang meninggalkan jejak harimau.
Mereka mengikuti jejak tersebut. Sebab bekas tubuh perempuan itu diseret nampak jelas di tanah. Tiga puluh depa dari tempat semula, mereka menemukan pisau penakik getah perempuan itu.
Nampaknya ketika ditangkap harimau, dia belum mati. Bahkan nampaknya berusaha melawan ketika tengkuknya dicengkram taring harimau itu dan menyeretnya pergi. Namun ditempat pisau pemotong karet itu jatuh, disanalah mungkin ajalnya tiba.
Dan malam itu mereka tidak menemukan apa-apa. Besok dan besoknya lagi mereka mencari terus. Sepekan lamanya pencarian itu berlangsung. Namun mayat istrinya tak pernah dijumpai. Dan ternyata hari ini dia temui gelangnya dalam perut harimau itu…”
Si Bungsu sudah terbiasa hidup dalam kekerasan. Sudah tak lagi mempan akan kesedihan-kesedihan. Sebab hidupnya sendiri adalah rangkaian dari pada kesedihan yang sambung menyambung.
Namun mendengar kisah tragis yang menimpa diri lelaki dari Buluh Cina ini, hatinya jadi terharu. Dan ketika dia melihat betapa lelaki itu duduk terhenyak di tanah, memandang dengan wajah pucat dan air mata berlinang. Si Bungsu jadi tak tahan.
Dia beranjak dari sana. Berjalan masuk ke mesjid. Di dalam rumah Allah itu dia sembahyang sunat. Kemudian duduk membaca zikir.
Itu adalah hari terakhir si Bungsu di Buluh Cina. Sebab malamnya datang kurir Kapten nurdin dari Pekanbaru memberitahukan bahwa besok ada kapal menuju Singapura. Dan di Singapura kelak ada orang Indonesia yang mengurus keberangkatan si Bungsu ke Jepang.
Malam itu juga si Bungsu kembali ke Pekanbaru. Meninggalkan Buluh Cina. Dia diantar oleh Bilal dan Badu sampai ke Marpuyan. Disana sudah dirunggu oleh anak buah Kapten Nurdin.
Esoknya sesuai dengan pesan Kapten Nurdin dia berangkat ke Singapura. Kapal yang ditompanginya adalah sebuah kapal kecil yang selalu hilir mudik di sungai Siak membawa para pedagang dan penyelundup.
Di Singapura beberapa pejuang bawah tanah Indonesia yang berada disana sebagai pencahari senjata telah menunggu dan memberangkatkan si Bungsu ke Jepang. Dia ditompangkan di sebuah kapal Jepang yang dicarter Inggeris. Kapal itu bernama Ichi Maru.
Dalam perjalanan menuju Jepang, debar jantungnya terasa mengencang. Dia kini tengah menuju sebuah negeri darimana pernah dikirim pasukan fasis yang amat kejam menjajah negerinya. Dia menuju sebuah negeri, darimana pernah dikirim tentara yang telah merobek-robek negeri dan kaum perempuan Indonesia. Membunuh banyak sekali kaum lelaki, kanak-kanak dan orang dewasa, lewat pembantaian dan…kerja paksa sebagai Romusha!
Dia kini menuju sebuah negeri dimana berdiam musuh besarnya. Orang yang pernah membunuh ayah, ibu dan kakanya. Dia kini menuju negeri Saburo Matsuyama!!
Ke Jepang dia datang, disana maut menghadang!
@
I. Tikam Samurai