Tikam Samurai - 174

Gadis itu seorang mahasiswi, malam itu diangkut ke pusat bala tentara Amerika dijalan Hibiya di pusat kota. Dia diinterogasi. Siapa yang telah membunuh kedua tentara Amerika itu. Gadis itu membayangkan kedua tentara Amerika. Gadis itu membayangkan lagi wajah anak muda tersebut. Mula pertama dia masuk ke hotel itu dia segera ingat anak muda itu adalah anak muda yang bertanya padanya di daerah Ginza dua hari sebelumnya.
Dan dia ingat betul, bahwa dia merasa benci pada anak muda asing itu. Anak muda itu pastilah orang Philipina atau Indonesia. Dan kedua bangsa itu dia benci karena perang dengan kedua bangsa itu telah memisahkan dia dengan ayahnya.
“Kau kenal siapa lelaki yang membunuh Letnan itu?” Polisi Militer Amerika itu bertanya kembali. Gadis itu mengangguk.
“Siapa dia?”
“Dia membunuhnya dengan samurai” gadis itu berkata pasti.
“Ya, kami tahu itu. Melihat luka tangan dan perut serta leher yang robek itu, pastilah karena samurai. Hanya siapa lelaki itu?”
Gadis itu membayangkan lagi wajah anak muda tersebut. Seorang anak muda yang gagah sebenarnya. Dan dia masih ingat betapa disaat terakhir dia akan diperkosa letnan itu, pintu terbuka.
Anak muda itu tegak dengan kaki terpentang dipintu.
“Tolonglah saya…” katanya.
Anak muda itu menatap penuh kebencian pada tentara Amerika itu. Dan dia dapat melihat bahwa dibalik sikapnya yang diam dan lemah lembut itu, tersimpan api yang amat berbahaya.
Dan bahaya itu segera menampakkan diri takkala letnan itu menerkamnya. Kaki anak muda itu terangkat, dan letnan itu meluk. Lalu terjadilah hal yang diluar dugaanya.
Ketika letnan itu mengangkat pistol, anak muda itu bergerak amat cepat. Tahu-tahu tubuh letnan itu telah cabik-cabik dimakan samurai! Dimakan samuari! Bayangkan, adakah lelaki asing yang mahir mempergunakan samurai?
“Katakan siapa lelaki itu!” Polisi Militer Amerika itu kembali bertanya.
“Dia seorang Jepang bertubuh gemuk dan pendek..” gadis itu akhirnya memberitahukan ciri-ciri orang yang membunuh letnan tersebut.
“Pendek dan gemuk?” ulang Polisi Militer itu.
“Ya..”
Polisi Militer itu mencatat dengan steno keterangan tersebut.
“Rambutnya?”
Gadis itu membayangkan rambut anak muda yang telah menolongnya. Lebat, hitam, berobak dan agak gondrong.
“Rambutnya digunting pendek..’ katanya.
“Digunting pendek?”
“Ya, pendek sekali, seperti sikat sepatu…” katanya pasti. Dan Polisi Militer itu menulis lagi dalam proses verbalnya. Menulis dengan penuh bayangan keyakinan bahwa yang membantai kedua serdadu Amerika itu adalah seorang lelaki Jepang dengan tubuh gemuk, pendek, buncit, bermata sipit, berambut pendek seperti jamaknya kamu samurai yang berwajah bengis di negeri ini.
“Kau kenal siapa dia?”
Gadis itu menggeleng. Kali ini dia memang tak berdusta seperti keterangannya terdahulu. Dia memang tak kenal sedikitpun dengan pemuda yang menolongnya itu. Dan dia dia menyesal kenapa tak mengenal sebelumnya. Kemana dia sekarang? Pikirnya sambil membayangkan orang asing bersamurai itu.
“Waktu nona masuk, ada seorang anak muda asing dikamar itu. Nah, waktu kejadian ini dimana dia?”
Gadis itu berdebar. Dia khawatir kalau-kalau anak muda itu tertangkap karena keterangannya.
“Saya tak tahu dimana dia. Tapi menurut hemat saya dia melarikan diri begitu mendengar tembakan…”
“Ya. Ya. Cocok dengan keterangan pemilik penginapan. Anak muda itu pasti telah melarikan diri karena takut..”
Dan pemeriksaan terhadap gadis itu berakhir.
Dia dilepas. Dan gadis itu kembali menjalani tempat dimana dia pernah bertemu dengan anak muda itu. Dia berharap bisa bertemu untuk mengucapkan terimakasih. Untuk mengucapkan maaf karena tak mengacuhkan pertanyaannya ketika di Ginza Dori itu.
Namun mencari seorang lelaki diantara jutaan manusia di kota Tokyo bukanlah suatu pekerjaan enteng. Dia sia-sia mencarinya.
--o0o--
Di salah satu rumah di Uchibori Dori, dimalam yang sepi, seseorang kelihatan duduk di batu layah ditaman belakang.
Musim gugur dibulan-bulan Kugatsu, Jugatsu dan Juichigatsu (september, oktober dan nopember) telah berlalu. Kini negeri Jepang memasuki musim dingin di bulan Junigatsu (desember)



@



Tikam Samurai - 174