Kini samurai itu meluncur turun. Sebenarnya dengan mudah si Bungsu dapat menyudahi nyawa Saburo. Namun Michiko telah memeluk ayahnya!
Tanpa sadar sedikitpun, samurai yang tadi melambung meluncur turun, persis tentang kedua anak beranak itu. Si Bungsu ntertegun. Samurai itu pasti akan menancap di tengkuk Saburo yang memeluk anaknya!
Selintas dia teringat betapa pedihnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan saudara. Oo, bertahun dia telah hidup demikian. Kini, ada seorang gadis yang telah kematian ibu, seorang anak tunggal, yang akan kematian ayahnya pula.
Akan dia tambahkah jumlah kanak-kanak yang yatim piatu? Yang tersikasa oleh kesepian tanpa kasih sayang ayah dan bunda? Pantaskah dia membalaskan penderitaannya pada orang lain?
Pikiran itu demikian cepat menyelinapnya. Dan dengan sebuah gerakan lompat tupai yang sempurna, dia bergulingan di lantai. Dan sejari lagi samurai yang meluncur turun itu akan menancap di tengkuk Saburo, samurai si Bungsu datang menghantamnya. Samurai itu terpukul dan menancap dilantai jauh dari Saburo!
Semua pendeta yang tadi sudah meramalkan kematian Obosan mereka, jadi terkesima oleh gerakan yang tak pernah mereka bayangkan akan sanggup dilakukan seorang manusia biasa itu!
Saburo selamat!
Saburo menyadari bahwa nyawanya telah diselamatkan lagi. Dai menatap heran pada si Bungsu. si Bungsu menatap pada Saburo tanpa berkedip. Michiko juga menatapnya diantara deraian airmata…
“Lelaki kejam. Lelaki yang berperasaan. Kau bunuhlah aku jika engkau mau membunuh ayahku!!” Michiko berkata diantara tangisnya.
Si bungsu terdiam.
Perlahan sekali, dia menyarungkan kembali samurainya. Memandang pada Michiko. Memandang pada Saburo. Memandang keliling. Pada para pendeta kuil Shimogamo itu. Memandang pada mayat-mayat para pendeta. Dan tiba-tiba dia merasakan dirinya sebagai pembunuh.
Membunuh para pendeta di kuil mereka yang suci. Kenapa harus saling bunuh di kuil ini!
“Maafkan saya….” Katanya kepada para pendeta itu. Kemudian dia melangkah meninggalkan ruangan tersebut. Para pendeta yang melingkar berkuak memberi jalan.
“Bungsu-san….”suara Michiko terdengar memanggil. Si Bungsu mendengarnya, tapi dia tak menoleh.
“Bungsu-saaan…’ suara Michiko terdengar getir. Namun si Bungsu sudah berada di luar. Angin musim dingin menampar-nampar wajahnya.
Dan ketika dia melangkah di altar di depan Doyo dimana para pendeta muda itu tadi berlatih, dia dengar pekikan Michiko. Dia ingin berhenti, tapi buat apa?
Dia melangkah di jalan yang terbuat dari batu dalam taman di depan kuil Shimogamo itu. Kemudian ke luar ke jalan raya Shimogamo Hon. Dia melangkah ke mana saja kakinya membawa.
Di jalan raya, dia berbaur dengan tentara Amerika yang berseliwearan. Berbaur dengan orang-orang Jepang yang juga berseliweran. Dia tak tahu ke mana kainya membawa.
Dia tak ingin berhenti. Tapi juga tak ingin berjalan. Dia tak ingin berbuat apa-apa. Dia tak ingin, tak ingin…. Apa yang dia ingini kini?
Akhirnya dia mendapatkan dirinya terduduk di sebuah kursi kayu yang dingin di sebuah taman yang rasanya belum pernah dia jejak. Bila pula dia akan menjejak taman di kota ini, padahal baru tiga hari dia di Kyoto ini?
Tak ada orang di taman itu. Siapa pula orang yang akan berada di taman dalam musim dingin begini? Dia duduk sendiri.
Duduk menyesali diri. Kenapa Saburo tak dia bunuh? Kenapa dia lepaskan setelah bertahun dia mencarinya. Kenapa dia biarkan jahanam itu hidup padahal ayahnya bersumpah akan membunuh jahanam itu sesaat sebelum dia menghentakkan nafasnya?
Apakah dia menjadi lemah karena Michiko? Apakah nyawa ayah dan ibunya, kehormatan dan nyawa kakaknya, dan kehormatan puluhan gadis serta nyawa puluhan orang kampungnya, penduduk Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sago di Minangkabau sana lebih rendahnya daripada nyawa Saburo? Apakah hanya karena sayang pada Michiko dia biarkan ayah, ibu dan kakak serta orang kampungnya mati tanpa ada yang menuntut bela?
Dia merasa pikirannya jadi buntu. Jadi tak menentu. Sampai suatu saat, di taman itu dia mendengar bunyi tabuh. Suara tabuh mengingatkan dia pada sholat.
Tabuh apakah itu? Pastilah gendang upacara agama Shinto. Dan dia teringat bahwa belum sholat. Dia sedang berniat bangkit ketika tiba-tiba dia mendengar suara azan!
Suara azan di Kyoto! Mungkinkah itu? Dia tegak tertegun sambil mempertajam pendengarannya.
“Asyhaduala ila hailallaaaahh….”
Suara azan itu berkumandang dalam suara dingin. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkunya merinding dan matanya basah mendengar azan itu.
Ya, pastilah beduk tadi dari sebuah mesjid atau langgar di sekitar taman ini. Dia coba mencari suara itu.
@
Tikam Samurai - II