Saya bangga, engkau memiliki kemahiran bersamurai. Memiliki kepandaian leluhurku. Meskipun kepandaian itu kau peroleh melalui darah keluarga dan dendam yang membara.
Tapi saya banggsa. Percayalah, untuk saat ini tak ada seorangpun manusia di Jepang ini yang mampu menandingi kecepatan dan kehebatan samuraimu anak muda. Tidak juga sepuluh Zato Ichi!
Saya pergi. Barangkali saya harus mengembara lagi dari hutan ke hutan mencari kedamaian seperti puluhan tahun terakhir ini. Di kota manusia telah berobah menjadi buas. Kota telah menjadi rimba raya yang tak bersahabat dengan manusia seperti saya. Rimba justru tetap bertahan dalam damai.
Bungsu-san.
Ada seorang gadis yang saat ini mencarimu. Dia sangat mencintaimu. Saya yakin itu. Dan saya juga yakin engkau mencintainya. Saya berdoa kalian dijodohkan Tuhan. Gadis itu adalah Michiko. Anak Saburo Matsuyama. Dia sangat menderita karena kematian ayahnya. Tapi penderitaannya yang paling utama adalah karena dia engkau tinggalkan.
Ah, saya akan puas untuk mati kalau kelak mendengar kalian menikah.
Sayonara.
Zato Ichi.
Si Bungsu tertegak diam. Tanpa dapat dia tahan, matanya jadi basah. Dia teringat pada Zato ichi selama dua hari ini. Betapa pahlawan samurai itu tak sepatahpun mau bicara sejak dia menyelamatkan nyawanya dalam pertarungan melawan Zendo.
Kini dia telah pergi.
Perlahan si Bungsu membuka pintu. Angin musim dingin menerpa masuk. Meniup rambutnya yang gondrong. Menerpa mukanya yang urung.
Seorang sahabat telah pergi. Dia merasa sepi. Tak pernah dia mimpikan akan bisa bertemu muka dengan pahlawan samurai yang kesohor itu. Dan tak pula terbayangkan olehnya, bahwa dia seorang anak dusun dari gunung Sago, suatu saat akan ditakdirkan membela nyawa pahlwan samurai dari negeri yang tentaranya pernah merobek-robek kampung halamannya.
Dia menarik nafas panjang. Kini dia sendiri lagi. Perlahan dia berbalik, masuk lagi ke kamar. Mengambil buntalan kainnya. Mengambil samurainya. Menatap kamar itu sekali lagi. Lalu melangkah keluar. Di luar dia menutupkan pintu.
Lalu melangkah menjauh. Di halaman dia menoleh sekali lagi kerumah tua dibelakang kuil itu. Seperti menatap untuk terakhir kalinya. Kemudian berbail. Melangkah di jalan berkerikil. Terus ke jalan raya.
Sore itu udara sangat indah. Musim bunga. Tak jauh dari Budokan berhenti sebuah mobil. Seorang lelaki turun. Memandang ke gedung Budokan. Kemudian memandang ke arah rumah Hanako.
Rumah itu kelihatan banyak berobah. Sudah semakin mentereng dan terawat indah. Perlahan lelaki yang turun dari mobil itu berjalan ke arah rumah tersebut.
Dia kelihatan ragu-ragu. Sudah lama sekali dia tak datang kemari. Betulkah masih orang yang dahulu penghuni rumah ini? Pikirnya.
Dia berhenti di persimpangan jalan besar dengan jalan setapak menuju ke rumah. Ada seorang lelaki tengah membersihkan beberapa rumpun bunga. Dia coba memperhatikannya. Tak dia kenal lelaki itu.
Dia melangkah masuk. Lelaki itu masih asik bekerja. Dia batuk kecil. Lelaki itu menoleh. Mereka bertatapan. Lelaki yang bekerja itu mengerutkan kening. Dia tak pernah mengenal lelaki ini.
“Maafkan saya…” kata lelaki yang baru datang itu.
“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mencari rumah seorang sahabat. Kalau tak salah dahulu dia tinggal di rumah ini….”
“Siapa namanya?”
“Barangkali dia sudah pindah….namanya Kenji…”
Lelaki itu tegak. Menatap pada yang baru datang itu. Dan tiba-tiba dia seperti menemukan sesuatu.
“Anda…anda pastilah si Bungsu dari Indonesia…” katanya hampir hampir berbisik. Tapi lelaki yang baru datang itu mendengarnya. Dia heran dari mana orang itu mengetahui namanya.
“Benar….saya si Bungsu….” ucapannya belum berakhir ketika lelaki itu berseru ke arah rumah.
“Hanako-san…..Hanako-san….” Himbaunya. Dari dalam rumah muncul seorang perempuan cantik dengan tergesa. Dia kaget mendengar seruan lelaki yang lain dari Waseda itu.
“Ada apa….?” Tanyanya.
“Lihatlah siapa yang datang ini…” Waseda berkata pada isterinya. Hanako baru menyadari bahwa dihadapan suaminya ada seorang lelaki. Dia menatap pada lelaki itu. Lelaki itu, yang memang si Bungsu menatap pula padanya.
@
Tikam Samurai - II