Tikam Samurai - 255

Dia seperti bermimpi. Wajahnya tiba-tiba jadi pucat. Menatap dengan tatapan tak percaya pada wanita cantik di depannya.
Dan wanita cantik itu, isteri Letnan Kolonel Nurdin itu, yang kata Nurdin juga berasal dari Minangkabau itu, tak kalah kagetnya dari si Bungsu.
Wanita itu justru merasakan darahnya terhenti mengalir. Merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Tangan mereka masih sama-sama terulur. Namun tak bersentuhan.
“Salma….?” Suara si Bungsu mirip desahan.
 “Uda….” Suara nyonya cantik itu, terdengar seperi dari alam mimpi.
Buat sesat mereka masih bertatapan. Dan ketika bagasi belakang mobil berdentam ditutupkan Nurdin, si Bungsu cepat menguasai diri.
Dia menyambar tangan Salma. Menyalaminya. Dan dengan suara yang jelas dipaksakan untuk gembira dan wajar, dia berkata:
“Senang berkenalan dengan ibu. Saya dari Situjuh Ladang Laweh. Ibu dimana di Minangkabau?”
Nurdin saat itu sudah berjalan kembali ke arah mereka. Salma buat sesaat masih tergagau. Namun dia juga cepat menguasai diri. Dia tersenyum meski hatinya menggigil.
“Saya dari Bukittinggi…” katanya lemah.
“Jauh kota itu dari kampungmu Bungsu?” suara Nurdin memutus. Si Bungsu melepaskan salamnya. Menoleh pada Nurdin. Dan sungguh mati, tak sedikitpun Nurdin menangkap bayangan lain pada wajahnya. Entah belajar dari mana, tapi saat ini baik Salma, lebih-lebih lagi si Bungsu adalah pemain sandiwara yang alangkah sempurnanya.
“Cukup jauh. Saya pernah datang ke Bukittinggi. Tapi hanya sebentar…”
Mereka lalu masuk. Rumah itu alangkah besarnya. Berisi perabotan yang mewah.
Seorang anak perempuan tiba-tiba berlarian dari kamar belakang. Mukanya belepotan bedak dan lipstik.
“Ayaaah…!” anak yang berusia sekitar tiga tahun itu berlari dan tanpa memperdulikan pakaian ayahnya yang mentereng, dia lantas saja menghambur kepelukan ayahnya. Dan Nurdin mencium anak perempuan yang mungil itu. Hingga wajahnya ikut berlepotan bedak dan lipstik.
Si Bungsu menatapnya dengan rasa tak menentu. Salma menatap anak dan suaminya dengan mata berbinar. Namun hatinya, jelas tak kesana. Hatinya sedang bergemuruh.
“Hei, Eka, salam sama paman Bungsu, ayo…” Nurdin berkata sambil menurunkan anaknya dari pangkuan. Anak kecil hitam manis dengan tubuh montok itu melangkah mendekati si Bungsu.
Sesaat dia tegak menengadah keatas, menatap si Bungsu. si Bungsu berjongkok. Gadis kecil yang mungil itu mengulurkan lidahnya. Menjilat bibir. Matanya berbinar-binar. Kemudian mengulurkan tangan.
Si Bungsu menyambut tangan anak itu. Menyalaminya.
“Siapa namanya…?”
“Eka….” Jawab gadis kecil itu.
Si Bungsu mencium pipinya yang berlepotan bedak. Kemudian memangkunya. Salma menudurkan diri dari ruangan itu. Dia pergi ke kamar yang diperuntukan bagi si Bungsu. membenahi kamar itu baik-baik.
Ada gigilan aneh ketika dia membereskan tempat tidur di kamar itu. Dan tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia teringat, ketika akan berangkat dari Bukittinggi dahulu, dia memberikan sebuah cincin bermata berlian pada si Bungsu. apakah cincin itu masih ada?
Perlahan dia meninggalkan kamar. Berjalan ke tengah. Melihat si Bungsu masih menggendong Eka. Suaminya barangkali ada di kamar depan.
Dan si Bungsu tiba-tiba juga terpandang pada Salma yang tegak antara ruang depan dengan ruang tengah. Mereka bertatapan. Salma mencari-cari. Dan tiba-tiba dia melihat cincin di jari manis tangan kiri si Bungsu.
Si Bungsu tanpa sengaja mengikuti pandangan mata Salma ke jarinya. Dan dia terpandang pada cincin yang telah bertahun-tahun menemaninya itu.
Ketika dia melihat lagi pada Salma, perempuan itu telah berbalik. Yang kelihatan hanyalah punggungnya yang berjalan ke kamar belakang. Nurdin muncul.
“Hei, masih gendong terus. Ayo, turun Eka. Paman lelah. Bungsu, mari saya tunjukkan bilikmu. Engkau harus disini. Saya merasa sepi di kota ini. Rindu terus ke kampung…”
Nurdin yang berkata sambil membimbing tangan puterinya dan menunjukkan si Bungsu ke kamarnya. Di kamar itu, Salma tengah melipatkan selimut wool berbunga merah jambu. Meletkkannya ke atas tempat tidur.
“Nah, inilah kamarnya. Seadanya. Kami harap udah betah di sini….” Nyonya rumah berkata perlahan sambil tersenyum. Bagi Nurdin ucapan itu adalah ucapan biasa. Namun tidak demikian di telinga si Bungsu. dan tidak demikian juga di hati Salma.
“Ah, saya…saya barangkali tak bisa tertidur ditempat sebagus ini nyonya…” jawabnya.
“Jangan sebut saya dengan sebutan nyonya. Panggil nama saya saja….” Salma berkata.
Nurdin telah berada lagi diluar kamar mengejar anaknya yang berlari ke ruang tengah. Sesaat Salma dan si Bungsu bertatapan lagi. Dan si Bungsu melihat betapa mata perempuan cantik itu berkaca-kaca.
“Udaaa….” Suara Salma seperti desahan.



@



Tikam Samurai - 255