Tikam Samurai - 259

Salma jadi kaget. Anak muda itu terlalu lemban.
“Udaa! Kenapa….?” Tanyanya sambil mendekat pada si Bungsu. si Bungsu hanya menggelang. Salma tegak disisinya.
“Kenapa. Tangan uda sakit lagi?” tanyanya sambil memegang tangan kanan anak muda itu dengan lembut. Si Bungsu tambah menunduk. Menarik nafas panjang. Kemudian menatap pada Salma yang tegak hanya sehasta di sisinya.
“Ya, terasa sakit. Tapi tidak hanya tangan. Tubuh saya juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi pucat.
“Kenapa….?” Tanyanya perlahan sambil menatap si Bungsu dengan cemas.
“Karena matamu….” Jawab si Bungsu. Salma terbelalak.
“Ya. Saya jadi lumpuh karena engkau tatap bergitu Salma…” jawab si Bungsu perlahan. Tiba-tiba Salma tertunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dadanya gemuruh. Mukanya merona merah. Namun perlahan matanya jadi basah. Pipinya juga basah. Si Bungsu kini yang jadi kaget.
“Salma? Saya menyakiti hatimu…?” tanyanya gugup.
Salma tetap menunduk. Kakinya tetap menggaris-garis tanah. Lalau dia menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Uda mempermainkan saya….” Jawabnya sambil coba mencuri pandang pada si Bungsu. Gadis itu sebenarnya amat bahagia atas kata-kata si Bungsu tadi. Bukankah pernyataan si Bungsu bahwa dirinya jadi lumpuh karena tatapan matanya sebagai suatu pernyataan rasa hatinya yang terpikat pada Salma? Ah, meski anak muda itu tak menyatakannya terus terang, namun dia dapat merasakan. Bukankah cinta itu tak perlu diucapkan dengan kata-kata?
Bukankah yang lebih indah itu adalah pernyataan yang disampaikan secara isyarat dan sindiran? Ah, siapa yang tak tahu di Minang ini tentang Kias. Dan sungguh mati, Salma sangat bahagia saat itu. Namun pada saat yang sama dia juga merasa sedih. Sebab bukankah ketikadia merawat si Bungsu, ketika anak muda itu mengigau dalam tidurnya, berkali-kali dia menyebut nama Mei-Mei? Siapa gadis itu, pikirnya. Itulah yang selalu menghantui hati Salma. Di hati si Bungsu ada gadis lain yang sampai dibawanya ke dalam mimpi. Dan gadis itu, jika menilik namanya, pastilah gadis Cina.
Dan kali ini si Bungsulah yang kaget karena dituduh Salma mempermainkannya.
“Mempermainkan….?”  Tanyanya sambil mengerutkan kening. “Sungguh mati, saya berkata sebenarnya Salma. Saya jadi lumpuh dan gugup melihat sinar matamu Salma….tapi, maafkanlah saya kalu ucapan saya tadi menyinggung perasaanmu….”
Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Mereka bertatapan. Perlahan si Bungsu menghapus airmata di pipi gadis itu. Salma amat bahagia.
“Tidak marah?” bisik si Bungsu. Salma menggeleng. Kemudian senyumnya mekar lagi. Si Bungsu menarik nafas. Lalu balas tersenyum. Kemudian Salma berjalan kembali ketempatnya tadi tegak. Tegak dalam jarak lima depa dari si Bungsu. dia mengambil putik perawas dari dalam baskom disisinya.
Mereka bertatapan. Lama. Kemudian sama-sama tersenyum.
“Siaaap….?” Suara Salma bergema.
Dia telah bersiap dengan dua buah putik perawas di tangannya.
“Ya, tapi jangan sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak….” Si Bungsu bergurau. Salma tersenyum lagi. Lalu tanpa peringatan dia melemparkan kedua putik perawas di tangannya. Dan anak muda itu kaget lagi. Tangannya bergerak ke samurai. Yang satu berhasil dia babat. Belah dua. Tapi yang satu lagi mengenai pipinya.
“Hei, engkau mencido…!” teriak si Bungsu. Salma tersenyum. Dan tanpa dia sadari, kinipun ketika berhadapan di meja makan di Singapura ini, Salma juga tersenyum mengingat masa lalu yang alangkah indahnya itu. Bibirnya tersenyum, namun matanya basah.
Si Bungsu yang duduk di depannya, jadi heran atas senyum Salma.
“Ada sesuatu yang lucu…?” tanyanya perlahan. Salma menggeleng.
“Saya teringat masa lalu….” Keluhnya. Si Bungsu tak berani menanyakan masa lalu yang mana yang teringat nyonya rumah ini.
“Ingat ketika di Bukittinggi?” si Bungsu mendesak sambil menghirup kopi di cangkirnya. Salma mengangguk.
“Ketika Uda meminta saya melempar Uda dengan putik perawas….” Salma mengingatkan lagi. Si Bungsu jadi tak sedap hati. Kalau dia perturutkan cerita ini, maka bisa bisa luka hatinya akan bertambah meroyak. Tapi bagaimana dia harus menyuruh nyonya ini berhenti ngomong? Sebagai seorang tamu, tak sedap juga bila tak melayani bicara tuan rumah bukan?
Dan karena alasan itulah, si Bungsu kembali mengangguk. Tapi Salma tak melanjutkan ceritanya. Mereka lebih banyak berdiam diri. Situasi yang alangkah jauhnya berbeda dibanding mereka berpisah dahulu membuat pembicaraan mereka  jadi kaku. Tak tahu apa yang harus dimulai.



@



Tikam Samurai - 259