Satu hal yang pasti adalah: kerinduan. Siapa pun diantara mereka tak dapat mengelak kenyataan bahwa mereka saling merindukan. Salma meskipun dia seorang wanita yang telah bersuami dan mempunyai puteri, namun sebagaimana hanya setiap wanita, dia tetap saja tak mampu menolak kodrat bahwa dia tak mampu melupakamn lelaki pertama yang menyentuh hatinya. Yang menyentuh tubuhnya.
Betapapun setia dan berbaktinya seorang wanita pada suaminya, namun jika suaminya itu bukan cintanya yang pertama, maka jejak cinta itu berbekas jauh di dasar hatinya.
Hanya saja barangkali karena kodratnya pada setiap wanita pandai menyimpan rahasia. Demikian juga halnya dengan Salma. Dia mencintai suaminya. Mencintai anaknya. Dan dia telah membuktikan bahwa dia telah mengabdikan dirinya dengan segenap hati dan cintanya pada suaminya. Tapi, kini….ah!
Si Bungsu merasa tak betah berada di rumah besar itu tanpa Nurdin. Dia menjadi serba salah. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Dan itulah yang dia lakukan. Salma menatap kepergiannya dari balik tirai jendela.
Si Bungsu menolak ketika Salma menyuruh sopir mengantarkannya dengan mobil.
“Tidak, saya ingin jalan kaki. Rasanya amat penat tidur seharian ini….” Katanya menolak tawaran Salma. Dan kini anak muda itu melangkah di jalan dalam taman rumah itu menuju ke jalan raya. Salma menatap punggungnya. Alangkah jauhnya berbeda.
Dahulu ketika anak muda ini meninggalkan rumahnya di Bukittinggi untuk menuju Pekanbaru keadaannya tak seperti sekarang. Dahulu dia hanya membawa sebuah buntal. Tapi yang jauh berbeda adalah pakaiannya.
Anak muda dari gunung Sago inio dahulu memakai baju gunting Cina dengan pentalon lusuh dan selop jepit dari kulit. Sehelai kai sarung melintang dari bahu kanan ke pinggang kiri. Kini dia kelihatan berpakaian necis. Bersepatu dan berbaju kemeja dari kain sutera berlengan panjang.
Dia telah berobah, dari seorang pendekar klasik menjadi seorang lelaki yang hidup di kota besar.
Masih cintakah Salma dengannya?
Tak ada yang bisa menjawab. Bahkan Salma sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kata putus. Namun ada perasaan lain yang barangkali bisa jadi jawaban.
Salma kini membandingkan diri anak muda itu dengan kehidupannya. Kehidupan para Diplomat. Sudah tentu sangat jauh bedanya. Dia hidup sebagai seorang pejabat tinggi. Dan dia mencintai suami dan anaknya. Dan selain mencintai, dia juga hidup bahagia. Kini dia jumpa dengan si Bungsu. alangkah jauhnya berbeda sisi tempat mereka berpijak kini. Seperti langit dan bumi. Dan dia jadi kasihan pada si Bungsu. kasihan pada lelaki yang pernah dia cintai itu.
Nah, jawabannya apakah dia masih mencintai si Bungsu atau tidak, kini jadi jelas. Dia hanya kasihan! Salahkah dia? Ah tidak. Tak ada yang salah. Bukankah setiap orang berhak memilih jalan hidupnya sendiri? Dan siapapun wanitanya, barangkali akan menempuh jalan seperti yang di tempuh nyonya Atase Militer ini. Ah, perempuan.
***000***
Dan barangkali firasat halus jua yang membisikkan pada si Bungsu, agar dia segera meninggalkan rumah sahabatnya itu. Hanya tiga hari dia tinggal di sana. Dan hari ketiga itu, sore harinya, ketika dia dibawa oleh Nurdin melihat pelabuhan, dia lalu menceritakan, bahwa dia sebenarnya telah mengenal Salma sebelum ini.
Dia berharap Nurdin jadi kaget. Namun justru dialah yang kaget.
Nurdin hanya menatap padanya sebentar. Namun air mukanya tak berobah. Mereka tengah duduk di sebuah restoran di daerah pelabuhan. Daerah Anting yang selalu ramai oleh kapal-kapal yang datang dari Indonesia.
“Saya mengenalnya ketika saya di Bukittinggi….” Kata si Bungsu menyambung ketika temannya itu tetap diam.
Nurdin masih tetap tenang.
“Dan saya tidak hanya sekedar mengenalnya Nurdin…” si Bungsu jadi merasa tak sedap karena Nurdin diam saja.
“Ya. Saya tahu. Kalian pernah saling mencintai bukan?”
Kalau saja ada petir, si Bungsu barangkali takkan sekaget ini.
Dia menatap tak percaya pada Nurdin.
“Saya mengetahuinya Bungsu…”
“Dari Salma…?”
“Ya. Dari Salma. Dan bahkan ketika mulai pertama kalian saya pertemukan, ketika saya berjalan k ebelakang mobil menutupkan bagase, saya sempat mendengar engkau setengah berbisik karena kaget menyebut nama Salma. Dan saya juga mendengar Salma memanggilmu “Uda”. Saya gembira kalian saling kenal. Tapi saya jadi kaget takkala saya datang lagi ketempat kalian berdiri, kalian justru bersandiwara seperti tak saling kenal. Maka tak ada jalan lain yang bisa saya ambil selain mengikuti permainan kalian. Tidak, saya tidak berprasangka buruk. Engkau sahabatku. Salma isteriku. Dan kedua kalian sama-sama saya hormati. Sama-sama saya cintai.
Saya menanti perkembangan. Dan malam harinya, Salma bercerita pada saya. Dia ceritakan segalanya. Saya jadi terharu…saya harus minta maaf padamu. Karena saya tak pernah menyangka, bahwa saya akan memperisteri gadis yang dicintai sahabat saya…”
Nurdin terhenti
@
Tikam Samurai - III