“Saya sengaja membawamu ke daerah pelabuhan itu tadi, dan saya sengaja tak memakai mobil konsulat, sebab kedatangan kita kesana merupakan rangkaian tugas nrahasia. Perempuan-perempuan Indonesia yang kau lihat turun dari kapal tadi Bungsu, adalah perempuan-perempuan yang diselundupkan dari Indonesia. Dan Cina-Cina yang menyertai mereka, adalah agen-agennya. Ada sebuah sindikat Internasional yang mebgorganisir perdagangan wanita-wanita. Yang juga melakukan jual beli wanita dari Indonesia. Bungsu, sudah setahun kami mengintai langkah mereka. Jakarta telah berkali-kali mengintai, tapi mereka selalu lolos.
Dan saya sudah hampir bisa mencium jejak mereka di Singapura ini. Namun datanya belum saya kirim ke Jakarta. Bungsu, padamu saya minta tolong, kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukan tak percaya pada beberapa petugas di Konsulat Indonesia disini, namun saya lebih percaya padamu. Saya yakin, dokumen rahasia itu akan aman di tanganmu. Bungsu, jangan sampai orang di konsulat tahu, bahwa dokumen itu ada padamu….minta dokumen itu pada….pada Salma…” suara Nurdin lenyap.
“Nurdin…!”
Tak ada jawaban.
“Nurdin!” si Bungsu mengguncang bahu Letnan Kolonel itu. Namun tubuhnya tak bergerak. Saat itu sedan membuat tikungan tajam. Kemudian berhenti mendadak.
Gedung yang dijadikan untuk Kantor Konsulat Republik Indonesia itu tak lebih dari sebuah bangunan bertingkat yang sudah tua. Seorang penjaga dari kepolisian Singapura bergegas membukakan pintu. Dan dia kaget ketika melihat bahagian kanan taksi itu remuk dimakan peluru. Dan makin terkejut lagi dia. Ketika diketahuinya bahwa atase militer dari konsulat yang dia jaga terluka parah.
Dia segera berlari ke pintu konsulat. Memijit sebuah bel dan berlari ke box telepon. Hanya selang semenit setelah itu, halaman konsulat itu sudah dipenuhi oleh Polisi, ambulan dan dokter-dokter. Nurdin dinaikkan ke tandu. Tapi ketika dia akan dimasukkan ke ambulan yang akan membawanya ke hospital, si Bungsu mencegahnya. Dia mengatakan bahwa Nurdin meminta agar dia dirawat di konsulat saja.
Konsul Republik Indonesia untuk Singapura yang juga datang menatap si Bungsu.
“Apakah anda yang bernama Bungsu?”
Si Bungsu mengangguk.
Konsul itu menjabat tangan si Bungsu.
“Overste Nurdin banyak bercerita tentang anda, saya kita bertemu dalam saat seperti ini…” dia menoleh pada tubuh Nurdin yang masih tergeletak dalam pandu, “:Bawa dia ke dalam. Didalam ada ruang khusus untuk perawatan. Panggilkan dokter konsulat..”
Dan konsul itu memberikan perintah-perintah.
Dan dokter konsulat yang memeriksa Nurdin menyatakan bahwa meskipun sangat gawat, namun Overste itu mungkin masih bisa ditolong.
“Harus dioperasi. Ada dua peluru yang bersarang di tulang dekat jantungnya. Dan untuk operasi harus di hospital…” kata dokter itu. Si Bungsu kembali menerangkan bahwa Nurdin menolak ketika akan dibawa oleh taksi ke Hospital tadi.
Konsul kembali menatap si Bungsu.
“Kalau demikian dia mempunyai alasan-alasan khusus. Minta saja agar operasi diadakan di konsulat ini…”
Dan permintaan konsul Indonesia itu dikabulkan oleh Pemerintah Singapura. Seperangkat alat-alat operasi segera dipindahkan ke konsulat tersebut.
Konsul Indonesia itu memutuskan untuk memberi tahu isteri Nurdin melalui telepon.
“Bu Salma…”
“Ya, ini dari siapa…?”
Konsul itu menyebutkan namanya.
“Oh, bapak. Apa kabar pak, ibuk di rumah?”
“Ya. Ya, dia ada dirumah…tapi…”
“Bapak ingin bicara dengan Pak Nurdin?”
“Tidak. Tidak. Dia ada di sini. Eh, maksud saya ya, ya dia ada di konsulat sekarang ini. Ada pertemuan penting. Saya harap ibu juga bisa hadir di sini sekarang…”
Salma memang tak punya prasangka. Dia segera saja bersiap dan berangkat ke konsulta dengan mobil dinas suaminya yang memang ditinggal di rumah. Sebagai isteri seorang diplomat, bagi Salma bukanlah hal yang baru kalau tiba-tiba diminta datang kesuatu tempat dan acara dengan mendadak. Apalagi yang memanggil ini adalah Konsul sendiri. Salma berpendapat, pastilah ada pertemuan yang penting sekarang. Sehingga ibuk-ibuk pejabat teras konsulat diperlukan untuk hadir.
Namun segala pendapatnya itu segera saja buyar ketika mobil memasuki halaman konsulat. Konsulat itu dipenuhi oleh mobil polisi yang nampaknya siap siaga.
Dan kagetnya segera berobah jadi pekik tangis ketika dia tiba di dalam. Ketika padanya diberitahu tentang malapetaka yang menimpa suaminya. Untunglah konsul Indonesia itu dan isterinya juga datang menahan Salma. Kalau tidak, perempuan itu pasti telah memeluk suaminya yang tengah menjalani operasi.
@
Tikam Samurai - III