Tikam Samurai - 320

“Ya. Namun opsir itu memang mati oleh senjatanya sendiri. Persis seperti sumpah ayah si Bungsu. sumpah itu nampkanya memang makbul….”suara Michiko terdengar getir.
“Makbul? Bagaimana sumpah itu bisa makbul kalau si Bungsu tidak membunuhnya?”
“Opsir itu bunuh diri. Disana disebut Harakiri..”
“Bunuh diri?”
“Ya. Justru disitulah letak makbulnya sumpah ayah si Bungsu. Bukankah tadi engkau katakan bahwa Datuk Berbangsa itu bersumpah bahwa opsir itu akan mati oleh senjatanya sendiri?”
“Ya. Tapi menurut hemat saya sumpah itu bermaksud bahwa opsir itu akan dibunuh oleh samurai yang dia tinggalkan tertancap di dada Datuk Berbangsa itu…”
“Tidak mutlak harus begitu. Yang jelas opsir itu mati karena senjatanya sendiri. Dan itulah yang benar akan takwil sumpah itu…” Michiko menjelaskan dengan kepala tetap menunduk. Salma menarik nafas. Kemudian teringat pada diri Michiko.
“Tadi engkau katakan, bahwa di kuil Shimogamo itu terjadi perkelahian antara beberapa pendeta dengan si Bungsu. si Bungsu berhasil membunuh beberapa orang diantaranya sebelum dia mengalahkan opsir…siapa namanya opsir itu?”
“Saburo. Saburo Matsuyama” suara Michiko masih perlahan.
“Ya. Dia telah membunuh beberapa orang pendeta sebelum mengalahkan Saburo Matsuyama. Apakah ayahmu yang meninggal itu adalah seorang diantara para pendeta yang mati itu?”
Michiko menggeleng.
“Lalu, dalam peritiwa mana ayahmu meninggal oleh si Bungsu?”
“Dalam peristiwa itu juga…”
Salma mengerutkan kening. Sulit baginya untuk mencari logika cerita gadis cantik ini.
“Ya, ayah saya mati dalam peristiwa itulah…”
“Saya tak bisa mengerti. Apakah ada orang lain yang terbunuh selain para pendeta itu?”
“Ada. Ayah saya…”
“Kenapa ayahmu bisa berada disana?”
“Karena ayah saya adalah Saburo Matsuyama…”
Kalau saja ada petir, barangkali Salma takkan terkejut benar. Tapi kali ini, dia memang tertegun. Wajahnya jadi pucat. Lama dia terdiam. Akhirnya Michiko memandangnya.
“Maafkan saya, Michiko. Kenyataan itu benar-benar luar biasa bagi saya. Saya tak tahu harus mengatakan apa padamu…” Salma memegang bahu gadis itu.
“Memang pahit bagi saya, Salma. Saya bertemu dengannya di kota Tokyo. Suatu hari ketika saya baru masuk kuliah di Universitas, ketika akan pulang, seorang asing menanyakan jalan ke stasiun pada saya….” Michiko terhenti.
Dia mengumpulkan kenangan masa lalunya kembali.
“Saya tak menjawabnya dengan baik. Karena pakaiannya yang kumal, saya memandangnya dengan pandangan tak bersahabat. Kemudian meninggalkannya dengan hati terpukul tanpa menjawab pertanyaannya sepatahpun. Saya rasa saat itu dia baru tiba di Kota Tokyo yang ganas itu.
Tiga hari kemudian, dia saya jumpai lagi di sebuah penginapan kecil dia daerah Asakusa. Saya tengah menuju rumah seorang teman untuk belajar, ketika sebuah jeep tentara Amerika berhenti dan menyeret saya ke atasnya. Kemudian membawa saya ke hotel Asakusa itu.
Di dalam hotel, pemiliknya terpaksa menyuruh seorang penginap untuk keluar, sebab kamar yang lain penuh, maka kamarnya dipakai dulu untuk keperluan tentara Amerika yang membawa saya.
Saya berusaha minta tolong. Tapi, pemilik hotel itu sendiri, orang Jepang tulen, hanya tersenyum mendengar permohonan saya. Lelaki yang menempati kamar dimana saya akan diperkosa itu keluar. Dan dipintu kami bertatapan, dialah si Bungsu yang bertanya pada saya tiga hari yang lalu di daerah Ginza. Saya tak bisa berfikir banyak. Sebab Letnan Amerika itu telah menyeret saya masuk. Kemudian pakaian saya mulai dia tanggalkan. Saya telah bermohon-mohon, agar saya tak dia perkosa. Saya katakan bahwa saya mahasiswi. Tapi dia tak perduli. Ketika pertahanan saya sudah habis, ketika noda hampir mencemarkan hidup saya, tiba-tiba pintu terbuka.
Dan di pintu, berdiri anak muda itu. Dia menyelamatkan saya dengan membunuh Letnan itu. Kemudian membunuh seorang lagi sersan yang datang membantu.
Setelah itu dia lenyap. Berhari-hari saya mencarinya. Saya ingin mengucapkan terimakasih atas bantuannya, saya ingin meminta maaf atas perlakuan kasar saya tatkala tak menjawab pertanyaannya di Ginza. Tapi anak muda itu lenyap seperti ditelan bumi.
Akhirnya dia saya temukan lagi dikota kecil Gamagori. Yaitu ketika saya nakan menuju Kyoto. Ke tempat ayah saya.
Pertemuan itu nampaknya ditakdirkan Tuhan memberatkan saya. Artinya, saat itu saya kembali harus menerima budi baiknya. Saya diganggu oleh kawanan bajingan yang menamakan dirinya Kumagaigumi. Saya hampir lagi diperkosa, ketika tiba-tiba saja, seperti malaikat dari langit, dia membantu saya.



@



Tikam Samurai - 320