Tikam Samurai - 321

Di kota kecil itu dia lagi-lagi harus menyambung nyawa untuk membela saya. Kumagaigumi bukannya sembarang komplotan. Mereka mempunyai tukang sembelih dan ahli-ahli samurai.
Michiko berhenti bercerita. Dia menunduk. Seperti mengumpulkan kembali kenangan masa lalunya.
Salma mendengar dengan diam. Menanti lanjutan cerita Michiko dengan diam saja.
Michiko menolehkan pandangannya ke laut. Di laut, malam telah turun. Cahaya lampu kapal, seperti sejuta kunang-kunang bertebaran. Cahayanya dibiaskan oleh laut yang tenang. Malam itu benar-benar malam yang romantis. Tapi tidak bagi kedua wanita cantik yang duduk ditepi taman tersebut.
“Tapi…” Michiko melanjutkan lagi ceritanya…’ dia kembali memenangkan perkelahian itu. Saya demikian takut kehilangannya…. Saya akhirnya tahu, bahwa saya menicintainya. Saya ingin kehilangan dirinya. Oh, alangkah janggalnya terasa bukan? Namun itulah yang saya rasakan. Kami sampai di Kyoto. Saya ingin memperkenalkannya dengan ayah saya. Ayah saya menjanjikan suatu malam sukuran dengan mengundangnya.
Saya begitu bahagia. Ayah tahu, meskipun tak pernah saya ucapkan padanya, bahwa saya mencintai anak muda itu. Oh, engkau tentu pernah merasakan bahagia seperti yang saya rasakan itu, Salma. Namun, segalanya lenyap begitu cepat. Begitu memilukan. Begitu menyakitkan.
Saya tak perlu mengenalkan dirinya pada ayah saya. Suatu hari dia datang sendiri ke kuil Shimogamo. Yaitu kuil dimana ayah saya menjadi pimpinan para pendeta. Dan mereka berhadapan. Dan tahukah engkau Salma, musuh besar yang dia cari itu, yang telah membunuh keluarganya, yang bernama Saburo Matsuyama itu, adalah ayah saya. Ayah kandung saya.
Ayahku. Ayahkulah yang telah memperkosa kakaknya. Yang telah membunuh ayah dan ibunya. Dan….dan mereka lalu bertarung…” Michiko berhenti. Dadanya sara sesak. Dia menangis terisak. Salma memegang bahunya.
“Sebenarnya dia dengan mudah membunuh ayah. Tapi itu tak dilakukannya. Dia meninggalkan ayah demikian saja. Yaitu disaat dia hanya tinggal menghentakkan samurainya saja. Tak seorangpun diantara pendekar-pendekar samurai yang ada di kuil itu yang mampu menolong kalau dia mau membunuh ayah. Semuanya dia kalahkan. Bahkan enam orang telah dia bunuh ketika mereka berniat menolong ayah. Dan, ayah bunuh diri dengan harakiri….” Dia menangis.
Tanpa dapat ditahan, Salma juga menitikkan air mata. Dia dapat merasakan, betapa hancurnya hati Michiko. Meichiko menyandarkan kepalanya ke bahu Salma.
“Dan esoknya, ketika pemakaman ayah, dia hadis. Saya menantangnya untuk berkelahi. Dia tetap berdiam diri. Saya melukainya. Dia tetap diam. Dan berbulan-bulan setelah itu, saya berlatih samurai. Saya tahu, dia adalah seorang samurai yang tak ada duanya saat ini. Siapa pula orang di Jepang sana yang mampu mengalahkan ayah, seorang samurai tersohor dari keluarga Matsuyama yang disegani? Dan diatas segalanya itu, siapa pula yang sanggup melawan Zato Ichi. Pendekar legendaris dari masa lalu yang dipuja itu? Hanya dia. Ya, hanya si Bungsu yang sanggup melakukannya.
Dengan Zato Ichi dia memang tak pernah berkelahi secara langsung. Namun pendekar buta itu sendiri mengakui, bahwa dia takkan menang kalau berkelahi melawan si Bungsu. namun saya harus menghadapinya. Harus!
Kalau dia berhak mencari pembunuh ayah dan ibunya sampai ke Jepang, apakah saya tak berhak mencari pembunuh ayah saya sampai ke Indonesia?
Baginya, atau bagi semua orang, kematian ayah saya barangkali memang sudah begitu. Mati karena dosanya. Tapi tidak bagi saya, bagi saya kematian ayah saya harus saya tuntut. Kalau tidak, bukankah saya menjadi anak yang tak membalas guna?
Betapa besarpun dosa yang telah diperbuat ayah kepada orang lain, tapi kepada saya dia sangat sayang. Dia tetap sayah saya. Dan sebagai seorang anak, kewajiban saya membelanya.
Michiko berhenti bercerita. Berhenti menangis. Kemudian mengangkat wajahnya dari dada Salma. Menatap Salma dengan pandangan menyelidik.
Lalu bertanya:
“Engkau adalah orang yang pernah mencintainya. Apakah saya bersalah kalau saya mencarinya untuk membalas dendam padanya?”
Salma menggeleng perlahan.
Dan geleng kepalanya membuat Michiko menangis lagi.
“Saya mencintainya, Salma. Saya tahu, engkau juga mencintainya….”
“Tidak, Michiko. Barangkali saya memang benar mencintainya. Tapi cinta saya hanya sebagai sahabat. Sebagai seorang adik kepada kakak. Saya telah bersuami. Telah punya anak. Merekalah yang saya cintai kini…”
“Ya. Saya tahu. Dan itu pulalah yang saya alami, Salma. Saya memang masih mencintainya. Tapi cinta saya hanya sebagai bekas seorang kekasih. Sementara cinta yang dahulu telah bertukar dengan dendam. Saya…saya ingin membunuhnya….”
Salma tak berkata. Dia tak yakin bahwa gadis itu akan membunuh si Bungsu. namun dia tak menyatakannya.
“Hari sudah malam. Bagaimana kalau kita pulang?”
Michiko tersadar. Perlahan menghapus airmatanya. Kemudian mereka bersiap untuk pulang.



@



Tikam Samurai - 321