Lelaki itu telah pergi. Aneh, dia tak penah mengenal lelaki itu. Bahkan baru kali ini dia melihat wajahnya. Tapi karena wajahnya yang murung dan matanya yang sayu amat meninggalkan kesan di hatinya.
Ketika pulang dari mesjid, dia coba melirik ke kiri dan ke kanan. Berharap anak muda itu ada di pinggir jalan yang dilalui. Namun si Bungsu memang tak terlihat puncak hidungnya. Gadis itu pulang ke rumahnya, di sebuah toko bertingkat dua di daerah pasar atas itu. Di bahagian bawah tempat ibu dan ayahnya berdagang emas. Di bahagian atas adalah rumah tempat tinggal mereka.
Sekeluarnya dari masjid itu si Bungsu menuju ke pasar. Dia menuju Los Galuang, sebuah bangunan beratap setengah bundar, disana biasanya tempat orang berjualan tembakau atau selimut.
Di sana malam hari ,selalu ada orang bersaluang. Kini orang bersaluang selesai asyar. Sebab mereka harus pulang sebelum malam turun. Dalam negeri bergolak berbahaya keluar malam. Ke sanalah anak muda itu pergi. Menjelang masuk ke los itu, dia membeli jagung bakar. Jagung muda yang ketika dibakar baunya sangat menerbitkan selera. Dengan mengunyah jagung bakar itu dia melangkah memasuki Los Galuang yang hanya mengandalkan cahaya matahari sore.
Tak jauh dari jalan mula masuk, dia melihat kerumunan orang ramai. Sesekali terdengar suara sorak. Dari tengah lingkaran orang ramai itu terdengar suara seorang wanita tengah berdendang. Sayup-sayup terdengar bunyi saluang mengiringi dendangnya. Dendang yang terkadang kocak mengundang tawa. Terkadang mengandung sindir yang membuat orang rasa digelitik. Tapi sebahagian besar dari lagu yang didendangkan bernada ratapan atas nasib yang malang atau tentang percintaan. Si Bungsu tertegak di luar kerumunan orang ramai itu. Siang tadi dia mendengar pekik peluit kereta api. Kemudian makan goreng belut dan dendeng. Mendengar dentang Jam Gadang, memandang ke lembah Merapi – Singgalang dan Gunung Sago.
Kini, dengan jagung bakar di tangan dan mendengar dendang orang bersalung, maka lengkaplah kenangan masa lalunya terhadap kampung halaman yang bertahun-tahun dia tinggalkan. Dendang wanita di tengah kerumunan orang ramai itu makin mendayu. Tanpa terasa, dia menyeruak perlahan di antara orang-orang yang tegak. Kemudian berada di baris depan sekali. Seorang lelaki tua kelihatan meniup saluang. Seorang lagi menggesek rebab tua. Seorang perempuan tengah menyanyi sambil menunduk. Di dekatnya seorang anak perempuan berusia sekitar setahun, kelihatan tidur berkelumun selimaut usang. Mereka duduk di atas tikar pandan yang juga telah usang.
Di tengah lingkaran, ada sebuah lampu yang dibuat dari bekas kaleng sardencis. Sumbunya dari kain sebesar ibu jari. Api dari pelita minyak tanah itu sesekali bergoyang ke kiri atau ke kanan. Mengikuti hembusan angin yang lolos dari sela-sela sepuluhan lelaki yang mengelilingi kelompok saluang itu. Cahayanya redup melawan sinar matahari sore yang masih menerobos ke Los Galuang itu. Di sekitar lampu, terutama di depan wanita yang tengah berdendang sayu itu, terlihat beberapa keping uang logam dan beberapa lembar uang kertas. Uang itu dilemparkan oleh beberapa pengunjung yang meminta lagu atau yang merasa puas atas sebuah lagu. Dia menatap anak perempuan yang tidur bergulung dekat ibunya yang berdendang itu. Ada perasaan luluh menyelusup di hatinya.
Siperempuan berdendang mencari sesuap nasi untuk anaknya. Lelaki yang menggesek rebab itu barangkali suaminya. Gadis kecil itu terpaksa mengikuti ayah dan ibunya mencari makan. Barangkali kampung mereka tidak di sekitar kota Bukittinggi ini. Mungkin datang dari Pariaman atau Padang Panjang. Atau mungkin mereka dari Payakumbuh. Mereka mendatangi kota demi kota, kampung demi kampung, pasar demi pasar, untuk berdendang mencari makan. Kehidupan mereka tak lebih daripada mengharap belas kasihan orang yang mendengar. Bila orang merasa tertarik, maka mereka akan memberikan sedikit uang. Tak jarang uang yang mereka peroleh tak lebih dari hanya membeli sebungkus nasi. Nasi yang sebungkus itu biasanya mereka makan bersama. Empat orang!
Bahkan tak jarang mereka pulang dengan tangan hampa ke tempat mereka menginap. Uang yang didapat tak cukup meski untuk membeli sebungkus! Kalau hal itu terjadi, mereka biasanya membeli ubi goreng, atau apa yang bisa mengenyangkan. Mereka memberi anak kecil itu dahulu untuk makan. Bila ada sisanya, maka perempuan tukang dendang itulah yang mendapat bahagian. Kehidupan mereka hanya lebih baik sedikit dari kehidupan orang yang terlunta-lunta. Si Bungsu tahu benar akan hal itu. Sebab bukankah ketika masih di kampung dahulu dia sering mengikuti tukang saluang?
Dia merogoh kantong. Meletakkan tiga lembar uang kertas ke depan perempuan yang tengah berdendang dengan menunduk itu. Buat sesaat, setelah dia meletakkan uang kertas tersebut, dendang dan bunyi saluang masih terdengar wajar. Tapi seiring dengan bisik-bisik orang yang berkerumun, saluang dan dendang perempuan itu tiba-tiba terhenti. Perempuan itu menatap pada uang yang baru diletakkan di hadapannya. Lelaki tua tukang saluang itu menatap pada uang itu.
@
Tikam Samurai - IV