Tikam Samurai - 326

Suami perempuan itu juga berhenti menggesek rebabnya. Menatap pada uang kertas baru yang terletak di depan isterinya. Dari uang kertas itu, maka mereka kemudian beralih pada orang yang memberikan uang itu.
Orang-orang yang mengelilingi kelompok saluang itu juga berusaha melihat kepada lelaki pemberi uang tersebut. Si Bungsu jadi heran atas sikap orang-orang yang pada memandang padanya. Dia juga menatap pada orang-orang itu. Pada perempuan yang sebenarnya cantik dan tukang dendang itu.
Pada lelaki tua…. peniup saluang dan pada tukang rebab. Akhirnya dia jadi tahu, orang-orang itu merasa kaget atas jumlah uang yang barusan dia letakkan ke depan perempuan itu. Dia juga menatap pada uang yang dia letakkan tadi.
Ya, uang itu ternyata terlalu banyak bagi ukuran orang-orang yang kini tengah mengelilingi tukang saluang itu. Uang rupiah yang masih baru benar. Jumlahnya itu yang membuat mereka kaget. Dengan uang itu ketiga tukang saluang itu, berempat bersama anak perempuan kecil itu, bisa hidup senang-senang selama satu bulan! Tiba-tiba pula, kini si Bungsu yang dibuat kaget tatkala menatap wajah perempuan tukang dendang itu. Perempuan itu kelihatan kurus. Namun siapapun yang melihatnya, pasti mengatakan perempuan itu cantik!
Tapi perempuan itu sendiri nampaknya tak mengenal lelaki yang memberi uang itu. Ada beberapa saat dipergunakan oleh si Bungsu untuk memastikan apakah perempuan itu memang perempuan yang dahulu dia kenal. Tatkala kepastian telah dia peroleh, masih dia perlukan beberapa saat lagi untuk menentramkan hatinya. Kemudian baru berkata perlahan.
”Nyanyikan dendang parantauan…”
Perempuan itu masih diam. Tukang saluang itu masih diam. Tukang rebab itu masih diam. Yang tak diam adalah pengunjung yang makin lama makin ramai. Mereka pada berbisik dan berdengung seperti lebah.
”Dendangkanlah…” kata si Bungsu perlahan.
Hatinya mulai tak sedap melihat situasi yang mencekam ini. Lelaki peniup saluang itu meletakkan bambu ujung saluang ke bibirnya. Kemudian terdengar suara saluangnya. Mula-mula agak sumbang. Lalu lancar. Lelaki penggesek rebab itu menegakkan rebab kecilnya. Lalu menggesek rebab mengikuti bunyi salung. Tak lama setelah itu, terdengar dendang si perempuan. Mendendangkan lagu tentang seorang yang menderita di kampung halamannya karena hidupnya yang melarat, tanpa harta, tanpa sanak famili yang mengacuhkan.
Kemudian dia pergi merantau. Di rantau, nasib malang ternyata masih mengikutinya. Terlunta-lunta, sampai akhirnya dengan perjuangan keras dia jadi orang kaya. Lalu pulang ke kampung. Di kampung, dimana berita tentang kesuksesannya telah tersebar, kepulangannya di sambut dengan meriah. Sanak familinya tiba-tiba saja jadi banyak. Bahkan dia tak mengenal beberapa orang yang hari itu mengaku jadi familinya. Namun karena dia baru pulang, dan membawa sedikit harta, maka dia menerima kunjungan sanak familinya dengan hati senang.
Dia memberi mereka oleh-oleh. Tak lama, hasil pencahariannya di rantau pun habis. Ketika tiba-tiba dia jatuh sakit, tak seorangpun diantara sanak familinya atau yang kemarin mengaku sebagai sanak familinya yang datang menjenguk. Dan akhirnya, dengan kekerasan hatinya saja, meski dalam keadaan sakit, dia kembali pergi merantau. Tuhan juga yang mentakdirkan dia kembali sukses di rantau. Namun dia telah bersumpah untuk tak kembali lagi ke kampung halamannya.
Syair lagu ”Dendang Parantauan” ini terdengar terlalu mengada-ada. Bombastic dan klise. Sesuatu yang banyak terdapat dalam film India. Tujuannya hanya satu, menguras air mata pendengar. Terutama kaum ibu. Namun demikian, lagu itu tetap populer. Biasanya para pengunjung yang datang mendengarkan lagu saluang itu juga ikut terharu. Dan tanpa setahu mereka yang tengah hanyut dalam emosi bersama dendang perantauan itu, ketika lagu itu berakhir, mereka tiba-tiba tak lagi melihat orang yang tadi meminta lagu itu. Peniup saluang itu berhenti. Demikian pula penggesek rebab.
Mereka mencari di antara orang-orang yang duduk bersila di depan mereka. Di antara orang-orang yang tegak berkerumun. Tapi lelaki muda yang tadi memberikan uang kertas baru itu tak kelihatan. Dia telah pergi entah kemana. Orang-orang lainpun tiba-tiba teringat lagi pada lelaki itu. Mereka saling pandang sesamanya. Berharap melihat lelaki itu di antara mereka. Namun si Bungsu memang telah pergi. Dia tak pergi jauh.
Tadi, ketika Dendang Perantauan itu tengah mendayu-dayu, di antara orang yang makin mendesak ke depan untuk mendengarkan dan melihat perempuan cantik tukang dendang itu, si Bungsu perlahan menggeser tegak ke belakang. Kini anak muda itu sebenarnya berada tak jauh dari tempat tukang saluang itu. Dia tegak di tempat yang samar-samar. Menjelang malam turun mereka usai. Orang-orang yang mendengarkan sudah pulang. Hanya tinggal dua tiga orang saja.
”Magrib akan turun, kita pulang…” kata lelaki yang menggesek rebab.
”Ya, sebaiknya kita cepat pulang…” ujar yang perempuan sambil membetulkan selimut anaknya.



@



Tikam Samurai - 326