Lelaki tua peniup saluang membungkus saluangnya dengan kain. Penggesek rebab itu juga membungkus rebabnya dengan kain baik-baik. Yang perempuan mengumpulkan uang yang di depannya. Tangannya terhenti lagi ketika memegang uang baru yang tadi diletakkan lelaki aneh yang meminta lagu ”Dendang Parantauan” itu. Tangannya terhenti tatkala mendengar sebuah suara menggeram.
”Uang itu uang palsu….”
Perempuan itu, suaminya yang menggesek rebab, dan lelaki tua peniup saluang tadi kaget dan menatap pada orang yang berkata tersebut. Yang berkata ternyata seorang lelaki bertubuh besar yang sejak tadi duduk di baris depan ketika melihat mereka bersalung.
”Ya. Uang itu palsu. Berikan pada saya…” katanya mengulurkan tangan.
Namun perempuan itu memegang uang tersebut erat-erat.
”Meskipun uang itu uang palsu, kami akan menyimpannya. Karena uang itu pemberian orang pada kami…” suami perempuan itu menjawab.
Terdengar tawa bernada tak sedap dari mulut lelaki besar itu. Dua temannya yang duduk di kiri kanannya juga tertawa bergumam.
”Engkau akan ditangkap dan dihukum masuk bui, buyung. Bukankah pada lembaran uang dituliskan, barangsiapa meniru, mengedarkan atau menyimpan uang palsu akan ditangkap dan dihukum? Nah, berikan saja uang itu pada saya. Saya intelijen…”
Lelaki besar itu tegak sehabis berkata demikian. Kedua temannya juga ikut tegak dan memang kiri kanan dengan tangan meraba pinggang. Ada tiga atau empat lelaki lagi di sana. Tadi mereka juga ikut tertarik mendengar uang itu uang palsu. Ada yang makin mendekatkan tegaknya. Namun begitu mendengar kata-kata ”tangkap” dan ”intelijen” dari mulut lelaki besar itu, mereka segera menjauh. Berlalu dari Los Galuang itu cepat-cepat. Seperti takut akan terbawa-bawa dan ditangkap.
Perempuan tukang dendang itu pucat. Dalam suasana bergolak sekarang ”intelijen” dan ”tangkap” merupakan dua kalimat yang teramat ditakuti. Namun lelaki tua peniup saluang itu tak yakin bahwa lelaki besar itu adalah benar-benar intelijen.
Dari tampangnya dan tampang kedua temannya yang tegak itu, tak sedikitpun menggambarkan mereka adalah alat negara. Paling-paling mereka hanya tukang peras. Mencatut nama intelijen untuk memeras orang lain.
”Saya harap sanak tak mengganggu kami. Kami akan pulang…” ujar lelaki itu perlahan.
Si perempuan memangku anaknya. Memasukkan uang ke sela kutangnya. Mereka lalu tegak. Bersiap untuk segera meninggalkan tempat itu,”Serahkan uang itu pada saya!!” lelaki besar itu membentak.
Namun ketiga orang tukang saluang itu tak mau melayani ucapannya. Mereka berjalan menyamping. Pergi ke arah lain. Kedua orang teman si tinggi besar mencegat mereka. Di tangan mereka tergenggam pisau belati. Namun kedua lelaki pemain saluang itu bukan pula lelaki yang tak berisi. Mereka segera mempertahankan diri. Yang muda menghantam pergelangan tangan lelaki yang di dekatnya dengan sebuah tendangan. Tangan lelaki itu berhasil dia tendang dengan cueknya. Namun tendangannya tak cukup kuat untuk melemparkan pisau lelaki itu dari pegangan lelaki tersebut.
Mereka berdua terlibat dalam perkelahian terbuka. Peniup saluang yang tua itu juga mempertahankan diri dengan menendang ke arah kerampang orang yang mengancamnya dengan pisau. Lelaki berpisau itu terpekik dan mundur. Namun dia maju lagi. Saat itu tiba-tiba lampu togok yang masih menyala dan terletak di lantai padam ditiup orang. Cahaya matahari senja tak cukup masuk menerobos ke dalam los itu. Menyebabkan los itu mulai agak gelap. Hanya beberapa saat setelah lampu itu padam, perempuan pedendang itu terdengar memekik. Terdengar suara seperti orang bergumul.
Suaminya terdengar memanggil-manggil. Perempuan itu seperti disekap mulutnya. Kemudian terdengar suara ada yang jatuh. Lalu suara anak menangis. Perempuan itu memburu anaknya yang jatuh dan menangis. Lelaki tua peniup saluang kelihatan tersandar dengan bahu luka. Sementara lelaki penggesek rebab tertegak diam. Lelaki bertubuh besar itu juga tertegak. Mereka semua menatap ke arah pelita. Dekat pelita itu jongkok seorang lelaki. Kelompok saluang itu segera mengenali lelaki itu sebagai orang yang tadi memberikan uang yang kini jadi rebutan itu. Lelaki itu bangkit dan menatap pada lelaki tinggi besar itu.
”Kenapa engkau mengganggu mereka?” suaranya terdengar perlahan.
Lelaki besar itu tersenyum. Senyumnya lebih tepat disebut seringai.
”Engkau mengedarkan uang palsu, buyung. Saya akan menangkapmu…” katanya menggertak.
”Tuan dari instansi mana…”
”Saya intelijen…”
”Intelijen darimana…”
”Jangan banyak tanya kau! Di sini orang banyak yang tanya banyak pula celakanya.”
”Intelijen tak biasanya menyombongkan diri. Tak pula mau menganiaya rakyat kecil. Kalau tuan benar seorang intelijen, maka tuan adalah intelijen keparat…”
”Ee..bacirik muncuang ang mah! Iko nan kalamak dek waaang!” ujar si tinggi besar menggeram, seraya menendang menggebu-gebu.
Lelaki itu, yang tak lain dari si Bungsu, tak berniat melayani orang ini. Dia baru tiba di kampungnya. Tidak pada tempatnya harus berkelahi di hari pertama dia menjejakkan kakinya di kampungnya ini. Dia hanya mengelak.
@
Tikam Samurai - IV