”Sampai malam kemaren masih hidup…”
”Maksud Bapak?”
”Dia meninggal malam kemaren.”
”Dimana?”
”Di kota ini. Di dekat Simpang Tembok..”
”Dalam penyerbuan malam kemaren?”
”Ya”
”Dia ikut PRRI?”
”Ya”
”Ikut menyerbu masuk kota?”
”Ya. Dia ikut menyerbu bersama pasukan Dahlan Jambek, pasukan Sadel Bereh, pasukan Mantari Celek, Beruang Agam. Jumlah mereka diperkirakan mendekati atau lebih dari seribu orang.”
”Ya Tuhan, apakah mereka akan merebut kota?”
”Saya tak tahu, buyung. Tetapi yang jelas, malam tadi pasukan APRI tetap bertahan di kantong-kantong pertahanan. Tapi begitu pagi tiba, mereka mulai mengejar pasukan PRRI. Pasukan PRRI mundur karena kebanyakan mereka telah kehabisan peluru menembak-nembak sepanjang malam. Mereka diburu ke arah Gadut, Tilatang Kamang dan Padang Luar Kota. Diburu dengan panser, tank dan mustang yang datang dari Padang. Kau tahu, Kolonel Dahlan Jambek kabarnya malam kemaren berada di sekitar Villa Tanjung di Gurun Panjang memberikan komando.”
Si Bungsu tak berkomentar. Kari Basa menceritakan jalannya penyerangan malam tadi.
”Bapak berada di luar malam tadi?”
”Tidak. Tapi saya mendengar cerita di kedai kopi di mana kita bertemu kemaren”.
”Pak Baheramsyah, meninggal karena apa?”
”Ditembak APRI. Dia sudah diperintahkan untuk menyerah. Tapi dia ingin bertemu dengan keluarganya yang ada di daerah Tembok. Dia menyelusup dari Lambau.
Jika sudah bertemu dengan keluarganya, dengan anak-anaknya yang kecil-kecil, dia berniat mundur bersama pasukan Sadel Bereh yang memang masuk dari arah Gadut lewat Tembok. Tapi ternyata ketika dia sampai, pasukan Mobrig di bawah pimpinan Sadel Bereh telah mundur. Dia terkepung oleh pasukan APRI. Ingin melawan. Disuruh menyerah, tapi dia menembak. Sampai akhirnya dia tertembak mati. Begitu cerita yang saya dengar…”
”Bapak melihat mayatnya?”
”Tidak, tapi dua lelaki yang kemaren di kedai itu melihatnya. Mereka PRRI. Saya sudah mencoba melihat mayatnya di rumah sakit. Tapi tak bertemu. Terlalu banyak mayat. Bertimbun, bergelimpangan”.
Sepi sesaat.
”Nah Bungsu. Engkau telah mendengar bagaimana duduk perkaranya. Terserah padamu untuk menentukan langkah selanjutnya…”
Sepi lagi. Kari Basa bangkit. Karena di rumah itu tak ada orang lain, dia lalu pergi ke dapur, memasak air dan membuat kopi. Sambil minum kopi mereka bercerita tentang pengalaman masa lalu. Kari Basa menanyakan pengalaman si Bungsu di Jepang. Menanyai perkelahiannya dengan Saburo Matsuyama. Si Bungsu menceritakan seadanya. Pagi itu, atas saran Kari Basa, si Bungsu menukar pakaiannya. Pakaian gunting cina itu sudah dikenal oleh OPR sebagai yang membunuh teman mereka di Simpang Aur. Kari Basa membelikan dua stel pakaian di pasar atas. Membelikan perban untuk luka di kepalanya. Ketika Kari Basa pulang dari pasar dia membawa cerita tentang korban-korban yang berjatuhan malam tadi.
”Mereka dikuburkan di suatu tempat secara massal…”
”Satu kuburan bersama?”
”Ada dua atau tiga kuburan panjang. Di dalamnya berisi empat atau lima puluh mayat…”.
”Tak ada mayat yang disembahyangkan, dikafani atau dimandikan?”
”Dalam perang hal-hal begitu tak sempat difikirkan orang, Bungsu. Masih untung mayat itu dikebumikan. Kalau dilempar saja di Ngarai misalnya, siapa yang akan menuntut?”
Si Bungsu menarik nafas. Ada sesuatu yang terasa runtuh di relung hatinya. Alangkah ganasnya peperangan.
”Ya, perang ini memang ganas, Nak”
Ujar Kari Basa seperti bisa menerka jalan fikiran si Bungsu, dan tak ada seorangpun diantara kita yang mampu meramalkan, bila perang ini akan berakhir…”
”Tapi, saya dengar di Pekanbaru tak ada lagi peperangan…”
”Di kota itu memang tidak. Operasi di sana dilaksanakan pada tanggal 12 Maret yang lalu. Dipimpin oleh Letkol Kaharuddin Nasution dan Letkol Udara Wiriadinata dengan mengerahkan pasukan RPKAD. Pekanbaru perlu mereka rebut dahulu, sebab di sana ada kilang minyak Caltex. Pemerintah tak mau kilang minyak itu menjadi sebab ikut campur tangannya pemerintah asing dalam urusan Indonesia. Lagipula dari seluruh daerah yang memberontak, maka di Sumatera Barat inilah yang berat. Pemerintah Pusat mengakui hal itu. Sebab di daerah ini berhimpun tokoh-tokoh militer dan tokoh politik yang tak dapat dianggap enteng.
@
Tikam Samurai - IV