Baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Perang ini lambat laun memang akan berakhir, tapi korban akan jatuh sangat banyak sebelum tiba saatnya peluru terakhir ditembakkan…”
”Menurut bapak, adakah kemungkinan bagi PRRI untuk memenangkan peperangan ini?”
”Saya tak berani meramalkan. Tapi ada beberapa indikasi yang barangkali bisa diungkapkan. Pertama, dua daerah yang diharapkan menjadi daerah pendukung utama, yaitu Riau dan Tapanuli, kini telah dikuasai sepenuhnya oleh APRI. Artinya, Sumatera Barat kini berdiri sendiri, terkepung di tengah. Barangkali saja ada harapan untuk mendapatkan bantuan senjata dari Armada VII Amerika Serikat lewat Lautan Hindia. Tapi Lautan Hindia dan seluruh pantai barat kini sudah dikuasai APRI di bawah komando Ahmad Yani. Memang ada droping senjata, peralatan dan lain-lain dari Amerika lewat udara. Tapi banyak yang jatuh ke rimba belantara atau jatuh ke tangan APRI. Maka andalan utama PRRI kini adalah rakyat di desa-desa. Rakyat sebahagian besar memang simpati pada mereka.
Membantu mereka membelikan obat-obatan di kota. Membantu mereka dengan makanan. Rakyatlah tulang punggung mereka. Hanya sayangnya, di beberapa kampung sudah terdengar mereka menganiaya rakyat. Merampok, memperkosa, membakar rumah. Saya yakin perbuatan itu dilakukan bukan oleh tentara PRRI. Melainkan oleh segolongan orang yang katanya menggabung pada PRRI, tetapi justru mempergunakan kesempatan untuk melampiaskan dendam dan nafsunya saja. Banyak di antara mereka ini yang berasal bukan dari tentara. Misalnya dari preman, tukang angkat, tentara pelajar dan lain-lain. Memang tak semua mereka yang melakukan. Hanya beberapa pasukan kecil yang tak terkontrol. Namun bukankah orang-orang tua telah menyediakan pepatah ”karena nila setitik, rusak susu sebelanga”? Jika hal ini tak cepat disadari pimpinan-pimpinan PRRI, maka pelindung utama mereka, yaitu rakyat, justru akan marah pada mereka…”
Sepi lagi sesaat.
”Hari ini, kau pergilah kemana saja dalam kota ini, Bungsu. Maka kau akan mendengar isak tangis yang menyayat. Tangis dari isteri yang kehilangan suami. Tangis dari kanak-kanak yang kehilangan ayah. Tangis dari ibu-ibu yang kematian anak lelakinya dalam usia remaja. Yang mati dalam peperangan kemaren…”
”Tidak. Saya takkan kemana-mana…”
”Ya, sebaiknya engkau tak usah kemana-mana, anak muda. Saya khawatir pada keselamatanmu. Bukannya karena mencemaskan engkau ditangkap APRI, tapi saya cemas engkau tak tahan mendengar isak tangis orang-orang yang kehilangan itu…”
Dan sehari itu, si Bungsu memang tak keluar rumah. Dia duduk diam-diam di ruang tamu. Mendengarkan siaran radio PRRI yang menyiarkan bahwa malam kemaren mereka mendapat kemenangan besar ketika menyerang Bukittinggi. Banyak tentara APRI yang berhasil ditembak mati. Banyak senjata yang direbut. Pasukan PRRI baru meniggalkan kota setelah mereka berhasil mengumpulkan banyak bedil dan perlengkapan lainnya. Mereka meninggalkan kota tanpa ada perlawanan yang berarti. Sebaliknya, radio Pemerintah Pusat juga menyiarkan berita penyerangan malam tersebut. Disiarkan bahwa PRRI berusaha menyerang kota. Tapi berhasil dipukul. Malah ratusan anggotanya mati tertembak.
Puluhan dapat ditangkap dan ditawan. Banyak senjata PRRI yang ditinggalkan begitu saja tergeletak bersama ratusan mayat pemberontak. Si Bungsu hanya menarik nafas panjang mendengar siaran radio yang saling bertolak belakang itu. Padahal di kota, yang tersisa adalah isak tangis dan luka yang amat dalam di jantung sejarah.
Hari ke tiga si Bungsu di rumah Kari Basa tiba-tiba pintu diketuk. Ketika dibuka, tak ada kesempatan berbuat apa-apa. Empat orang tentara kelihatan tegak dalam pakaian loreng-loreng.
”Maaf, kami hanya melakukan pemeriksaan. Pagi tadi ada tentara terbunuh di pasar. Ditikam oleh seorang lelaki tak dikenal dengan pisau. Berapa orang yang tinggal di rumah ini?”
”Dua orang…”, jawab Kari Basa.
Tentara itu menatap tajam. Pangkatnya Sersan Kepala.
”Ini rumah pak Kari Basa bukan?”
”Ya. Sayalah Kari Basa…”
Tentara itu memberi hormat dengan sikap sempurna. ”Kami sudah diberi tahu tentang siapa bapak. Tapi maafkan, kami harus memeriksa kartu penduduk…”
Kari Basa mengeluarkan kartu penduduknya, kemudian memberikannya pada sersan itu. Si sersan mengamatinya. Kemudian mengembalikan kartu itu. Lalu matanya menatap pada si Bungsu yang tegak tak jauh dari ruangan tamu itu juga.
”Dia keluarga bapak?”…
”Ya, ponakan saya…”
Kari Basa sebenarnya ingin melindungi si Bungsu. Tapi jawabannya sebentar ini justru membuat perangkap pada anak muda itu. Sesuatu yang memang tak bisa diduga sebelumnya. Bahkan oleh Kari Basa sendiripun, meski dia adalah bekas perwira intelijen lan di zaman penjajahan Belanda dan zaman Jepang.
@
Tikam Samurai - IV