Tikam Samurai - 338

Akibat munculnya kekalutan ini yang paling menarik manfaatnya adalah pihak PKI. Mereka mendapat bukti bagi agitasi politiknya untuk mengkambing-hitamkan Angkatan Darat sebagai ”War Lords” dan diktator-diktator militer. Kaki-tangan imperialis, kolonialis, musuh rakyat dan musuh demokrasi. Situasi ini memberi peluang mematangkan kondisi revolusioner bagi PKI menurut konsepsinya. Dalam keadaan seperti itu, situasi semakin tidak menguntungkan bagi pihak yang ingin mempertahankan jalan konstitusi dan tertib hukum serta demokrasi.
Karena perkembangan yang terjadi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante hasil Pemilihan Umum pertama Tahun 1955 menjadi arena pertempuran politik yang tak mampu menemukan jalan keluar sebagai lembaga yang diharapkan untuk meletakkan landasan bagi peredaan rasa ketidakpuasan yang semakin meluap. Pergolakkan di daerah-daerah bukannya mendorong lembaga-lembaga itu mem percepat tercapainya hasil-hasil guna meredakan pergolakan di daerah itu, tetapi malahan sebaliknya. Pergolakan di daerah mereka pergunakan sebagai senjata untuk lebih mem perhebat pertempuran politik dalam lembaga tersebut.
Kalau kesatuan Angkatan Bersenjata sudah mencari jalan sendiri-sendiri, maka perang saudara pasti takkan bisa dihindarkan. Untuk mengatasi situasi yang tak baik ini, terutama di lingkungan Angkatan Darat, tanggal 9 Desember 1956 KSAD Mayor Jenderal A. H. Nasution mengeluarkan perintah yang melarang seluruh anggota TNI/AD aktif dalam partai politik. Kemudian 15 Februari 1957, Jenderal Nasution selaku KSAD kembali mengeluarkan larangan reuni bagi Dewan-dewan yang lahir di daerah itu.
Karena kekuatan politik itu juga, maka Kabinet Ali Sastroamijoyo ke II, yang dibentuk atas dasar hasil Pemilihan Umum tahun 1955, pada Maret 57 menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Untuk mengatasi situasi kritis, maka Presiden menyatakan negara dalam keadaan Darurat Perang (S.O.B) dan dengan demikian membebankan tugas pengamanan negara sepenuhnya kepada Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia. Sampai di sini Kari Basa berhenti bercerita.
Dia meneguk kopinya. Si Bungsu juga meneguk kopinya. Kari Basa semasa revolusi pisik tahun 45 bertugas sebagai perwira intelijen. Dia memang punya ingatan dan pengetahuan yang amat dalam tentang situasi negara waktu itu. Sehabis minum kopi, mereka sembahyang Isya. Setelah itu makan malam. Atas desakan si Bungsu, orang tua itu kembali merekat kepingan ingatannya tentang masa-masa prolog pergolakan tersebut. Kemudian dia meneruskan ceritanya…
Demi menghindarkan perpecahan persatuan Nasional, setelah dinyatakannya keadaan SOB, dan megusahakan menyelesaikan masalah pertentangan antara daerah-daerah yang bergolak dengan pusat secara damai, maka pada tanggal 9 sampai 14 September 1957 di Jakarta diadakan Musyawarah Nasional (Munas). Dihadiri oleh seluruh pimpinan pemerintah dan tokoh-tokoh politik dan militer dari seluruh Indonesia. Tujuan Munas ini adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul secara musyawarah dengan hati terbuka dan dalam suasana kerukunan dan persaudaraan.
Musyawarah Nasional diikuti dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang dilangsungkan akhir November 1957.
Tapi ternyata Munas dan Munap itu tak menghasilkan apa-apa. Kekecewaan daerah semakin meningkat. Tanggal 9 Januari 1958 di Sungai Dareh dilangsungkan rapat yang dihadiri Simbolon, Ahmad Husein, Dahlan Jambek, Sumual, Zulkifli Lubis serta beberapa tokoh politik dan militer lainnya. Rapat Sungai Dareh ini membicarakan kekecewaan mereka atas ketidakberhasilan pimpinan Pusat mengatasi keresahan. Rapat itu juga telah membicarakan rencana meningkatkan tuntutan kepada Pusat. Malah tidak hanya berupa tuntutan, tetapi ultimatum. Jika ultimatum tidak dijawab, maka akan dicari jalan lain.
Rapat ini tercium oleh Pemerintah Pusat di Jakarta. Maka tanggal 23 sampai 26 Januari 1958 KSAD Jenderal Nasution mengadakan perjalanan ”mengukur barometer” situasi. Perjalanan itu dilakukan ke Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh dan Tanjung Pinang. Tanggal 10 Februari 1958, Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Banteng mengeluarkan Ultimatum yang sudah disepakati di Sungai Dareh itu kepada
Presiden Soekarno dan Kabinet Juanda di Jakarta. Isi Ultimatum itu adalah :
A. Agar Presiden membubarkan Kabinet Juanda dalam tempo 5 x 24 jam.
B. Agar Presiden menunjuk Mohammad Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pembentuk kabinet baru.
C. Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi, maka Dewan Banteng akan memutuskan hubungan dengan Pemerintah dan bebas dari ketaatan terhadap Kepala Negara.
Ultimatum ini seperti membakar sumbu dinamit. Pemerintah pusat menjawab ultimatum itu dengan perintah pemecatan dengan tidak hormat atas Kolonel Simbolon, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel Zulkifli Lubis dan Letnan Kolonel Ahmad Husein. Perintah pemecatan itu diikuti dengan perintah penangkapan. Tanggal 12 Februari 1958 KSAD mengeluarkan keputusan membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST) yang selanjutnya menempatkannya langsung di bawah perintah KSAD Jenderal Nasution.
Namun pemecatan, perintah penangkapan dan pembekuan KDMST itu dijawab oleh Dewan Banteng dengan sebuah Proklamasi. Proklamasi itu adalah proklamasi berdirinya ”Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958, dengan Syafruddin Perwira Negara sebagai Perdana Menteri. Proklamasi ini dilanjutkan dengan membentuk Kabinet yang berpusat di Padang. Maklumat pembentukan PRRI itu didukung oleh Simbolon di Sumatera Utara. Tanggal 17 Februari 1958, D. J. Somba yang menjabat sebagai Panglima Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP), yang dilangsungkan akhir November 1957.
Komando Daerah Militer Sulawesi Utara (KDMSU) di Manado menyatakan pula bahwa Sulawesi Utara memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta dan menyokong berdirinya PRRI di Sulawesi Utara, di bawah pimpinan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA). Pengumuman menyokong PRRI ini dijawab Pemerintah dengan memecat dengan tidak hormat Letnan Kolonel HNV Sumual, Letnan Kolonel D. J. Somba dan Mayor D. Runturambi.
Mereka dicap memberontak dengan nama Permesta. PRRI/PERMESTA oleh Pemerintah Pusat dianggap lebih berbahaya dibandingkan dengan pemberontakan bersenjata yang pernah timbul sebelumnya di tanah air, oleh karena:
a. Dengan memproklamirkan ”Pemerintah Revolusioner” dan tidak mengakui kekuasaan Pemerintah yang sah akan mengakibatkan Negara Republik Indonesia akan terpecah belah.
b. Pemberontakan ini telah melaksanakan penyelewengan di bidang politik, ekonomi dan militer dengan mengadakan hubungan serta mendapat bantuan kerjasama langsung dari luar negeri. Yang berarti membuka pintu bagi kegiatan subversi.
Untuk menumpas PRRI/PERMESTA, pemerintah Pusat memerintahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk melancarkan operasi gabungan. Untuk itu disusun operasi-operasi sbb :
1. Operasi TEGAS di daerah Riau Daratan dan Pekanbaru dipimpin oleh Letkol Kaharuddin Nasution dari RPKAD.
2. Operasi SAPTA MARGA di daerah Medan/Sumatera Utara.
3. Operasi 17 Agustus untuk mengamankan Sumatera Barat di bawah pimpinan Kolonel Inf. Ahmad Yani.
4. Operasi SADAR untuk mengamankan Sumatera Selatan dengan Komandan Operasinya Kolonel Dr. Ibnu Sutowo.
5. Operasi MERDEKA di Sulawesi Utara dengan Komandan Operasi Letkol Infantri Rukminto Hendraningrat.
Malam telah hampir tersambut dengan subuh, ketika Kari Basa, bekas perwira intelijen di zaman perang kemerdekaan itu, menyelesaikan ceritanya. Setelah itu mereka ke kamar tidur masing.
Si Bungsu tak dapat memejamkan matanya sampai datang waktu subuh. Ketika dia mendengar Kari Basa mengambil uduk, diapun bangkit. Kemudian ke kamar mandi dan mengambil uduk pula. Mereka sama-sama sembahyang subuh dengan Kari Basa sebagai Imam.
”Kau ingat Sutan Baheramsyah?” tanya Kari Basa tatkala mereka selesai sholat.
”Yang menembak Jepang di Birugo dahulu?”
”Ya”
”Ya, Saya ingat beliau. Beliau masih hidup?”



@



Tikam Samurai - 338