Si Bungsu suka pada letnan yang rendah hati ini. Padahal dia tahu, dalam perkelahian sebentar ini, dia dikalahkan secara telak sekali.
”Terimakasih. Saya bangga berkenalan dengan …letnan…”.
”Fauzi, nama saya Fauzi..”
”Terimakasih Letnan Fauzi ..”
Mereka sama-sama tersenyum.
”Kenalkan, ini Letnan Azhar..” ujar Letnan Fauzi memperkenalkan sahabatnya.
Beberapa anak buah si Letnan maju dan menyalami si Bungsu. Letnan Fauzi tersenyum. Si Bungsu menghapus peluhnya. Dia menarik nafas lega. Bisa keluar dari dunia yang penuh keganjilan ini. Letnan ini memang seorang perwira yang pantas diteladani. Berani dengan jantan dan satria mengakui kelebihan orang lain. Ketika dia akan naik jip, tiba-tiba dia teringat pada perkataan ”meminjammu” yang diucapkan letnan itu. Dia berhenti. Menoleh pada Letnan Fauzi yang tegak dekat Letnan Azhar.
”Ada yang ingin kutanyakan, kalau boleh” katanya.
”Dengan segala senang hati”
”Berapa hari yang lalu, ada seorang anggota PRRI satu kamar tahanan dengan saya, yang dijemput malam-malam. Kemudian tak kembali. Kabarnya dipindahkan ke Padang. Apakah dia masih hidup?”
Letnan itu menatap Letnan Azhar, kemudian pada si Bungsu.
”Dia temanmu?”
”Ya, teman sekamar di tahanan…”
”Begitu pentingkah berita tentang dia bagimu?”
”Ya. Agar bisa kusampaikan pada anak dan isterinya”
Letnan itu menatap si Bungsu lagi.
”Siapa namanya?’
”Sunarto…”
”Hanya itu?”
”Ya, hanya itu. Saya tak tahu nama panjangnya. Tapi OPR yang bernama Nuad itu pasti kenal padanya.”
Letnan itu membalik. Berjalan mendekati Nuad. Bicara beberapa saat. Lalu kembali pada si Bungsu.
”Naiklah ke jip itu, kawan….” ujar si letnan tanpa menjawab pertanyaan si Bungsu tadi.
Si Bungsu tak bisa berbuat apa-apa. Dia naik dan tangannya diborgol lagi. Dia menatap pada letnan itu. Si letnan mendekat, memegang tangannya.
”Ini perang, kawan. Dalam peperangan, siapapun yang melibatkan diri di dalamnya, apakah itu karena keyakinan seperti PRRI, atau karena pengabdian dan karena tugas seperti kami, harus tahu resikonya. Yaitu kematian. Menyesal, temanmu itu tak mau buka rahasia dan dia sudah dieksekusi. Hanya itu yang dapat saya katakan padamu. Saya tak tahu dimana dan bila. Tapi yakinlah, dia sudah tidak ada di dunia ini….”
Mesin jip dihidupkan. Udara dingin menyelinap di malam yang alangkah larutnya itu.
”Terimakasih, Letnan. Terimakasih atas kehormatan yang kau berikan untuk bertanding melawanmu. Suatu kehormatan yang takkan saya lupakan. Dan terimakasih atas kepastian atas nasib Narto….”
”Selamat bebas, kawan…” lalu jip itu menderu.
Jantung si Bungsu juga menderu. Tubuhnya terasa dingin. Namun bukan karena angin yang menampar akibat jip yang berlari kencang. Tubuhya terasa dingin ketika mengetahui kepastian nasib Narto. Anak Jawa yang berjuang untuk Minangkabau itu. Masih terngiang di telinganya betapa lelaki itu berbisik minta tolong padanya. Perlahan tangannya meraba rantai emas milik Narto yang dia gantungkan di lehernya. Malam semakin larut. Perang saudara itu masih belum diketahui kapan akan berakhir. Berapa banyak lagi korban yang akan jatuh. Hanya Tuhanlah yang tahu.
”Katakan aku masih hidup pada anak dan isteriku. Suruh mereka menantiku di Semarang…” suara Narto seperti terngiang lagi. Mata si Bungsu terasa panas dan… basah!
Konvoi itu berhenti di Matur. Mereka berangkat pagi tadi dari Bukittinggi dengan pengawalan ketat. Jumlah truk tak kurang dari dua puluh buah. Begitu sampai, mereka segera menyebar. Kota kecil itu terlalu naif untuk disebut sebagai sebuah kota. Sebenarnya hanya sebuah kampung. Hanya tertata rapi karena di sana ada beberapa rumah yang dibangun oleh Belanda untuk opseternya. Sejak tiga hari yang lalu Matur berada di bawah kekuasaan APRI. Tapi biasanya, jika kekuatan APRI berkurang, maka kota ini akan pindah lagi ke tangan PRRI. Silih berganti penguasaan atas sebuah kota atau desa bukan hal yang ganjil. Terkadang kekuasaan itu bisa berganti setiap 12 jam. Dari jam enam pagi sampai jam enam senja yang berkuasa adalah APRI. Tapi dari jam enam senja sampai jam enam pagi, yang berkuasa adalah PRRI.
Perpindahan kekuasaan itu ada yang melalui pertempuran, namun tak sedikit yang bertukar secara otomatis begitu saja. Seolah-olah sudah ada semacam ”perjanjian.” Kalau malam PRRI yang berkuasa. Tapi pagi-pagi harus angkat kaki. Kalau siang APRI yang berkuasa, bila malam tiba mereka harus meninggalkan desa. Jika ketentuan tak tertulis ini dilanggar, akibatnya adalah perang.
@
Tikam Samurai - IV