Tikam Samurai - 351

Matur juga bernasib sama. Tapi hari ini APRI nampaknya ingin mempertahankan desa kecil itu dengan menambah kekuatan mereka di sana. Malam-malam memang masih sering diganggu serangan PRRI. Namun tak cukup kuat untuk mengambil alih kekuasaan. Salah seorang dari penompang konvoi itu adalah si Bungsu.
”Sampai di sini tujuanmu, anak muda?” tanya seorang letnan dari pasukan Banteng Raiders, tatkala si Bungsu turun dari truk bersama tentara lainnya.
”Ya, sampai di sini. Ini Matur, bukan?”
”Ya, inilah Matur. Kau akan kemana?”
”Mencari rumah seorang teman. Terimakasih atas tompangannya, Pak..”
Letnan itu tersenyum. Kemudian mengatur anak buahnya. Si Bungsu melangkah perlahan. Dia tegak dalam bayang-bayang tengah hari yang terik. Lalu mulai melangkah. Perutnya harus diisi. Terasa lapar sekali. Ada sebuah kedai nasi, kelihatannya sepi.
Dia melangkah ke sana. Seorang perempuan tua kelihatan menuggui warung itu. Di dalam seorang lelaki sedang makan. Si Bungsu melihat ada goreng dan gulai ikan. Ada dendeng. Ada sambal lado dengan jengkol muda. Ada rebus daun ubi. Laparnya menggigit melihat lauk pauk itu. Begitu nasi dihidangkan dia santap dengan lahap. Sesekali dia lihat perempuan pemilik kedai itu mencuri pandang padanya.
Dia tahu, kehadiran setiap orang baru di suatu desa, dalam keadaan bagaimanapun, apalagi dalam keadaan perang begini, pasti menimbulkan berbagai dugaan. Setelah kenyang makan dia memesan secangkir kopi panas. Di luar sana, tentara APRI kelihatan tengah menyusun barisan. Lelaki yang tadi tengah makan ketika dia masuk, kini membayar makanannya. Kemudian keluar. Namun si Bungsu sempat menangkap betapa lelaki itu melirik ke arahnya sesaat sebelum dia melangkah ambang pintu menuju keluar. ”Ibu kenal dengan Narto?” tanya si Bungsu dalam nada biasa sambil menghirup kopinya.
Perempuan itu menoleh. Lalu dengan wajah seperti tak ada apa-apa, dia menggeleng.
”Sunarto yang dulu pernah jadi Anggota Mobrig. Kemudian menjadi pasukan PRRI. Kabarnya isteri dan anaknya ada di sini. Apakah ibu kenal?”
Perempuan itu menggeleng lagi. Matanya melirik ke luar. ”Saya datang dengan pasukan itu. Saya harus menemui keluarganya…”
”Bapak… APRI?”
”Tidak. Tapi…”
”Bapak PRRI?”
”Tidak. Saya kebetulan datang dengan APRI. Saya kenal dengan Pak Narto. Saya harus menyampaikan pesan pada anak dan isterinya…”
Pemilik kedai itu menatap si Bungsu tajam sekali.
”Barangkali anak dapat bertanya di bawah sana. Ke sebuah rumah sebelum pendakian…”
Si Bungsu mengucapkan terimakasih sambil membayar makanannya. Dia menuju ke penurunan yang tadi dia lewati bersama konvoi tentara itu. Seorang lelaki bertongkat, rambutnya sudah memutih, semua giginya sudah ompong, menunjuk ke reruntuhan sebuah rumah ketika si Bungsu menanyakan rumah lelaki yang bernama Narto itu. Dia tertegun. Jantungnya seperti berhenti berdetak.
”Kenapa…?” tanyanya perlahan.
Lelaki tua itu berjalan ke sebuah pohon yang nampaknya rubuh kena mortir. Dia duduk di sana. Si Bungsu mengikuti dan tegak di depan orang tua tersebut.
”Rumah itu terletak di pendakian, dari rumah itu orang bisa melihat ke jalan di bawah sana. Semua kendaraan yang datang dari Bukitinggi segera terlihat dari jendela rumah tersebut….” orang tua itu bercerita, kemudian terbatuk, dan menyambung…”ketika APRI mula pertama menyerang, rumah itu dijadikan pos PRRI. Semacam pos pengintaian. Tapi ketika APRI berhasil menduduki Matur, ganti APRI lah yang mempergunakan rumah itu. Keluarga Narto yang tinggal di rumah itu luar biasa takutnya. Sebab semua orang tahu, dan APRI pasti tahu pula, bahwa Narto adalah pasukan Mobrig batalyon Sadel Bereh di Bukittinggi. Namun barangkali Tuhan masih melindungi sebagian keluarganya. Minah, anak gadisnya yang paling tua menikah dengan salah seorang sersan pasukan BR. Seminggu setelah menikah, suaminya dapat cuti ke Jawa. Dia membawa serta Minah dan seorang adik lelakinya yang masih kecil.
Namun tiga hari setelah itu, PRRI datang menggempur, APRI dipaksa mundur. Dan terjadilah bencana itu. Kabarnya Narto tertangkap di Bukittinggi, dan berkhianat. Pengkhianatan itu tambah diperkuat dengan kawinnya anaknya dengan sersan BR, lalu pulang ke Jawa. Pasukan PRRI membakar rumahnya. Menembak istrinya. Begitu juga dua orang anaknya. Adik Minah, gadis yang baru berusia lima belas tahun, diperkosa bergantian. Tapi isteri Narto tak mati. Kini dia dirawat di rumah itu…,” lelaki tua tersebut menunjuk ke sebuah pondok.
Si Bungsu jadi tegang mendengar kisah itu. Dan tatkala dia masuk ke pondok yang ditunjukkan itu, di balai-balai kelihatan seorang perempuan sepaoh baya terbaring. Di dekatnya ada dua orang kanak-kanak.
Pastilah anak Narto yang tersisa dari elmaut. Si Bungsu benar-benar tak percaya, bahwa hal ini bisa terjadi. Sunarto, seorang anak Jawa, yang bersedia ditembak mati demi menyelamatkan kawan-kawan PRRI-nya, keluarganya justru dibencanai oleh pasukan PRRI sendiri.



@



Tikam Samurai - 351