Tikam Samurai - 352

”Bagi kami orang Jawa, kepatuhan pada atasan adalah sesuatu yang mulia….karena saya merasa negeri ini adalah negeri saya, maka saya tak mau membuka rahasia. APRI lalu menyiksa saya. Insya Allah, saya masih bisa tutup mulut. Saya tak mau teman-teman yang sedang berjuang tertangkap karena saya terbujuk, atau tak tahan menderita. Saya bersedia mati demi negeri ini, demi teman-teman yang sedang berjuang….”
Bisikkan Narto seperti menggema menghancurkan selaput telinga si Bungsu. Orang Jawa itu bersedia mati demi Minang, yang diakui sebagai negerinya, dan demi teman-temannya yang sedang berjuang, begitu katanya. Begitulah katanya! Oh Tuhan. Kenapa Engkau jadikan manusia seperti Narto. Orang yang bersedia mengorbankan nyawanya untuk orang-orang yang justru menistai keluarganya.
”Bapak pasti membawa pesan dari suami saya, bukan?”
Tiba-tiba isteri Narto berkata tatkala melihat si Bungsu tertegak di pintu. Si Bungsu tak dapat bicara. Ada sesuatu yang terasa menggumpal di tenggorakannya. Di hatinya. Di matanya. Di jantungnya!
”Dimana dia….?” tanya perempuan itu.
”Dia…dia tengah berjuang…,” akhirnya pesan Narto itu dia sampaikan juga. Persis bunyinya. Tapi perempuan itu menggeleng. Matanya basah.
”Saya bertanya, dimana kuburannya. Bukan dimana dia kini. Jangan membohongi saya. Saya sebenarnya sudah lama mati. Tapi saya ingin mendengar kabar dari suami saya, itu sebab saya bertahan hidup. Malam tadi saya bermimpi, akan ada orang yang datang membawa pesan suami saya. Saya memang menanti Bapak. Dimana dia dikuburkan?”
Si Bungsu tak mau menangis. Demi Tuhan, demi para Nabi dan para Rasul. Tidak! Bukankah air matanya telah lama kering. Air matanya telah kering ketika menangisi kematian ayah, ibu dan kakaknya di Situjuh Ladang Laweh dahulu. Tidak, dia kini tak lagi bisa menangis. Namun, ya Tuhan, bagaimana dia takkan menangis melihat tragedi di depan matanya ini? Bagaimana? Beberapa puluh hari yang lalu, seorang lelaki membisikkan padanya, agar dia menemui keluarganya di sini, di Matur ini.
Menyampaikan uang gajinya. Menyampaikan pesan, agar isteri dan anak-anaknya itu pulang ke Jawa. Si Bungsu terduduk lemah. Perempuan itu telah mengetahui segalanya. Seperti membaca isi buku pada lembaran yang terbuka. Akankah dia mampu berbohong? Anak muda yang telah luluh oleh penderitaan itu terduduk di lantai tanah. Jatuh di atas kedua lututnya. Matanya basah, pipinya basah.
”Maafkan saya, Kak. Saya memang berdusta…” katanya perlahan di depan wanita yang dadanya terluka dan tubuhnya yang kurus itu.
”Dimana dia dikuburkan…? ulang wanita itu”.
”Maafkan saya, saya tak tahu Kak. Dia sebenarnya berpesan agar saya mengatakan dia masih hidup. Saya telah melanggar janji. Dia ingin Kakak pulang ke Semarang. Dia akan menyusul…”
”Tak perlu lagi….., tak perlu lagi. Dia takkan pernah pulang ke Semarang. Saya juga. Begitu pula dua anak-anak kami yang telah terkubur di belakang pondok ini. Kalau begitu, dia benar-benar telah mati tanpa tahu dimana kuburnya, bukan?”
Si Bungsu mengangguk dan menghapus air matanya. Kemudian tangannya meraih kalung di lehernya. Menanggalkan kalung berliontin timah hitam bundar itu.
”Dia berpesan, agar saya memberikan kalung ini pada Kakak…”.
Lemah dan menggigil tangan perempuan itu menggapai. Menerima kalung berliontin itu. Kemudian membawa ke dadanya.
”Ya, dia telah mati. Liontin ini pemberianku. Dan dia pernah bersumpah, bahwa liontin ini hanya akan dia buka kalau dia telah mati….Terimakasih, Bapak telah bersusah-susah datang kemari, untuk menyampaikan pesan itu….”
Si Bungsu mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebungkus uang.
”Dia menyuruh sampaikan uang ini pada Kakak. Uang gajinya yang tak sempat dia kirimkan….”.
Perempuan itu menoleh pada kedua anak-anaknya yang masih kecil. Memegang kepala mereka.
”Nak, berat ibu akan meninggalkan kalian. Kalian masih kecil. Tapi, ibu tak tahan lebih lama lagi tersiksa.
Jika Bapak ini berbaik hati, kalian akan ditolongnya untuk pulang ke Jawa. Ke rumah nenek kalian di sana…,” dan perempuan itu menoleh pada si Bungsu…”mereka tak punya siapa-siapa, Pak. Barangkali ada tentara APRI yang akan pulang ke Jawa. Tolong Bapak titipkan anak saya ini pada mereka. Di Jawa ada neneknya. Ada kakaknya dua orang….Berikan uang itu pada mereka….” suara perempuan itu sudah terputus-putus….”tapi saya ingin kepastian, suami saya tak pernah mengkhianati PRRI, bukan Pak?”
Si Bungsu menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia hanya mampu menggeleng. Menggeleng beberapa kali.
”Syukurlah…..syukurlah. Negeri indah ini telah memberi kami kehidupan selama puluhan tahun. Negeri ini telah membesarkan anak-anak kami. Kami hidup dengan Berlandas kasihan orang disini. Kami tak mau orang Minang menganggap kami tak tahu membalas budi, dengan mengkhianati mereka….syukurlah…”



@



Tikam Samurai - 352