Tikam Samurai - 370

Betapapun hebatnya kepandaian gadis itu, seperti halnya dalam mimpi malam tadi, misalnya, namun dia tak boleh meninggalkannya. Itu bisa dianggap melarikan diri.
 Melarikan diri? Hm, apakah dia sudah demikian penakutnya, sehingga harus melarikan diri dari seorang perempuan? Namun satu hal pasti pula, dahulu dialah yang memburu lawannya. Kini kejadiannya jadi terbalik. Dialah yang diburu. Dia tak boleh melarikan diri. Dia tak mencek lagi pada petugas hotel tentang kebenaran menginapnya Michiko di hotel itu.
Hal itu tak perlu dicek lagi. Petugas hotel itu telah mengatakan dengan tepat tentang nama dan ciri-ciri gadis itu. Petugas itu tak mungkin berkhayal atau mengada-ada. Sebab dia tak pernah berjumpa dengan Michiko. Lagipula, firasat si Bungsu mengatakan dengan pasti, bahwa gadis itu memang ada di kota ini. Dia pergi ke rumah makan di seberang Hotel Indonesia itu. Rumah makan yang letaknya persis di depan stasiun dan di persimpangan Jalan Melati. Memesan secangkir kopi dan sepiring ketan dan goreng pisang. Mengambil tempat duduk yang menghadap langsung ke jalan raya. Perlahan dia menghirup kopi. Mengunyah pisang dan ketan gorengnya. Matanya yang setajam mata burung rajawali sesekali menyapu jalan di depan restoran itu. Memandang ke arah kanan, ke jalan yang melintang menuju Simpang Kangkung. Memandang ke stasiun yang ramai oleh manusia.
Dia tak perlu menanyakan apa warna pakaian yang dipakai Michiko pagi ini. Itu tak diperlukan. Informasi tentang ciri-ciri itu hanya diperlukan bagi orang yang tak pernah dia kenali. Tentang Michiko, hmm, meskipun dia berdiri antara sejuta perempuan, dia segera akan mengenalinya. Namun sampai habis kopi, ketan dan goreng pisang di piringnya, gadis itu tak pernah dia lihat. Dari rumah makan itu dia juga bisa mengawasi jalan yang ada di depan hotel yang menuju ke selatan. Ke Tangsi Militer di Birugo. Gadis itu tak juga muncul. Akhirnya dia membayar minumannya. Kemudian perlahan melangkah keluar.
Di luar, dia menghirup udara pagi yang segar. Kemudian dia melangkah ke jalan raya. Semula dia berniat untuk ke stasiun. Sekedar melihat orang-orang yang akan berangkat. Tapi aneh, mimpinya malam tadi, perkelahian dengan Michiko di stasiun itu, tiba-tiba saja membuat langkahnya terhenti. Kemudian dia memutar langkah menuju pasar. Takutkah dia ke stasiun?
Apa yang harus di takutkan. Tapi seperti ada perasaan yang mendorongnya untuk tak datang kestasiun itu. Semacam was-was,untuk pertama kalinya sejak keluar dari hotel tadi dia menyadari, bahwa dia tak membawa samurainya! secara reflek pula, tangan nya merapa lengannya. Disana selalu terselip enam buah samurai kecil, tiga di tangan kanan tiga di tangan kiri yang di sisipkan pada sebuah sabuk yang terbuat dari kulit tipis.
Samurai yang bisa diturunkan dengan sedikit gerakan khusus, siap dilemparkan secepat anak panah, Namun kini ternyata semua tak dia bawa. Dia mencoba mengingat kenapa tak satupun senjata-senjata itu dia bawa, apakah dia terlalu terburu-buru? tak ada jawaban yang di peroleh. Akhirnya dia kembali berjalan menuju ke arah Panorama. Sementara pikirannya menerawang, bagai mana kalau keadaan seperti ini artinya ketika dia tanpa senjata sama sekali lalu bertemu dengan Michiko. Kemudia gadis itu menyerangnya untuk membalas dendam.
Dia memang menguasai judo dan karate yang pernah diajarkan Kenji, tapi judo dan karate melawan samura! Ah, suatu pekerjaan yang sia-sia betapapun hebatnya seseorang menguasai ilmu judo dan karate namun mneghadapi senjata tajam seperti samurai, apalagi bila samurai itu di pegang orang yang sangat mahir,sama saja dengan bunh diri.
Ah, pikirannya di penuhi terus dengan pertarungan melawan Michiko. Apakah dia memang benar-benar takut menghadapi gadis itu.? Apakah gadis itu benar – benar telah demikian hebatnya kini, sehingga dia merasa begitu takut? bukankah dia tak pernah lagi dengan gadis itu sejak peristiwa pamakaman Saburo Matsuyama di kuil shimogamo dahulu?
Namun perasaannya mengatakan,bahwa gadis itu kini memang memilki kepandaian yang jauh lebih tinggi. Sudah bertahun masa berlalu, Michiko terus mempersiapkan diri dengan matang. Kalau tidak, takkan berani dia datang sejauh ini. Gadis itu sudah paham siapa lawan yang akan dihadapinya.
Di Panorama.ketika dia tegak memandang ke ngarai yang masih berkabut, ketika matanya memandang jauh ke Gunung Singgalang yang tegak seperti seorang tua menjaga negeri ini dengan perkasanya, sebuah pikiran menyelinap ke hati si Bungsu. Dia harus pulang ke Situjuh Ladang Laweh untuk Ziarah ke makam Ayah dan ibunya. Dia ingin mengatakan, bahwa dendam mereka telah dibalaskan. Dia ingin membakar kemenyan dipusara mereka. Memanjatkan Doa itu niat utama nya. Kini kenapa dia harus menanti Michiko? dan kalau saja Gadis itu tidak mau berdamai dan memang benar-benar ingin menuntut balas, dan kalau benar kepandaianya sudah demikian tingginya, hingga tak mampu dia melawannya, itu berarti maut akan menjemputnya sebelum dia sempat Ziarah ke makam ayah, Ibu dan kakaknya, perjalanan jauh selama ini alangkah sia-sia.
Tidak, hal itu tidak boleh terjadi. Dia harus cepat-cepat pulang ke kampungnya. Tak peduli apakah dia akan dicap penakut karena melarikan diri dari Michiko, setelah ziarah dia tak perduli, soal dilayani atau tidak tantangan Michiko itu soal lain.



@



Tikam Samurai - 370