Komandan pasukan amphibi di pulau itu. Nama itu sangat populer ketika Maxmillan kecil, yang kini jadi pilot, tinggal di Pulau Samun.
Dia populer karena sikapnya yang ramah. Berbeda dengan teman-temannya yang lain. Suatu malam, Maxmillan, tentara Nasional Cuba itu membunuh seekor ular besar sekali di rawa pulau Samun. Ular itu sangat ditakuti penduduk, karena sudah sering menelan lelaki yang datang ke rawa itu untuk berburu belibis.
Maxmillan membunuhnya dengan karaben, dan membawa ular sebesar pohon pisang itu ke kampung. Kini nama ayahnya itulah yang akhirnya diberi orangtuanya kepadanya, Maxmillan. Artinya, Yoseph Maxmillan adalah ayah Maxmillan yang kini sedang menerbangkan pesawat dan baru berdialog dengan Yuanita!
Kini, Maxmillan yang pilot itu menerbangkan pesawatnya terus menuju Mexico. Ke tempat dimana para pembajak menunggunya. Dia berharap agar orang-orang Amerika yang menyelesaikan masalah ini akan segera mendapat jalan keluar menjelang dia tiba di lapangan Mexico.
Dia hanya ingin memberi kesempatan sampai waktu satu setengah jam yang diberikan pembajak itu terpenuhi. Sebab jika tak satupun pesawat yang mengaku membawa para tahanan politik dari Alcatras, maka para pembajak akan meledakan pesawat yang mereka bajak berikut isinya. Kini dia tolong memperpanjang waktu itu sampai terpenuhi.
Di dalam pesawat. Suasana tak begitu tegang lagi. Para penumpang malah ada yang tertidur karena lelah dan panas. Yang tidak tidur adalah si Bungsu dan Tongky. Mereka duduk saja diam-diam. Penumpang mendapat jatah makanan dan minuman. Yang membagikannya tetap saja para pramugari pesawat JAL itu. Mereka ditugaskan oleh pramugari Italia yang jadi pimpinan pembajak. Kesunyian di pesawat dipecahkan oleh suara Tongky, negro teman si Bungsu yang bekas pasukan Green Berret itu.
‘’Hey Yuanita, apakah Nona keberatan kalau makan bersama kami? Hitung-hitung sebagai makan perpisahan. Mana tahu, kita tak berjumpa lagi, bukan?’’ Penumpang lain yang pada terbangun karena mendapat jatah makanan, pada melotot mendengar selorohan negro gagah itu, Namun Yuanita, gadis cantik itu menerima ucapan tersebut dengan tersenyum dan menjawab:
‘’Kita masih belum akan berpisah, kawan. Kalaupun datang pesawat yang membawa teman-teman kami dari Alcatras, kau dan temanmu orang Indonesia yang pendiam itu akan tetap bersama kami. Kami akan memilih beberapa orang diantara kalian, termasuk
Menteri ini, untuk teman sepesawat sampai di lapangan tujuan kami..’’
‘’Hm, kalau bergitu saya amat bahagia. Dapat bersama Anda lebih lama. Apakah lapangan Havana di Cuba menjadi tujuan akhir Anda?’’
‘’Nanti akan saya beritahu, jika tiba saatnya’’ ujar gadis itu sambil masuk keruang pilot.
Tongky mengangkat bahu dan mulai menyuap makanannya. Matanya beberapa kali menatap ke lobang jendela yang pecah, yang tadi tempat seorang pembajak menembak mobil tangki. Jauh di sudut kanan dia lihat kerangka tangki itu masih mengepulkan asap tipis. Nun di sana kelihatan tower pengawas.
Dia meletakkan sendoknya, mengangkat kedua tangannya menirukan sedang memegang bedil panjang. Membidik lewat jendela kaca yang pecah di depannya, kemudian:
‘’Door!’’
Penumpang di depannya kaget. Menoleh ke belakang. Tongky senyum dan mengerdipkan mata, sementara tangannya masih seperti memegang bedil. Kemudian Tongky menyendok makananya lagi. Menoleh ke jendela yang pecah, pandangannya lurus ke menara pengawas. Di sana, di tower itu, pasti ada pejabat-pejabat penting yang berunding dengan para pembajak, pikirnya.
Sebab salah seorang pembajak tadi menembak dari jendela tersebut ke tower itu. Dia menyendok makanannya kembali. Mengunyah dan menoleh pada dua orang pembajak di kanan sana. Kedua pembajak orang Cuba itu tetap tegak seperti patung. Di tangan kananya pistol, di tangan kirinya granat siap meledak.
Tongky menoleh lagi ke jendela, meneruskan pandangan ke tower pengawas yang barangkali menurut taksirannya sekitar 700-an meter dari pesawat ini. Orang di tower tentu bisa menembak kemari. Dengan alat bidik yang baik, peluru bisa masuk lewat kaca yang pecah, dan kalau peluru itu masuk…Tongky menoleh ke kanan, dan peluru itu akan mengantam persis kepala salah seorang pembajak. Ya, peluru dari tower tinggi itu akan membuat sudut rendah ke pesawat. Kalau saja orang di tower itu punya otak, mereka bisa menembak. Namun untung saja otaknya itu tak dipergunakan, pikir Tongky pula.
Sebab kalau mereka pergunakan otaknya, dan mereka menembak, dan pembajak yang satu itu tersungkur mati, maka pembajak yang lain tentu dengan serentak akan meledakan granatnya. Lalu..isi pesawat ini jadi abu! Untung orang di tower tak pakai otak, pikir Tongky lagi sambil melahap sisa terakhir dari makanannya di piring plastik.
Matanya kembali menatap kaca jendela yang pecah. Dan, tiba-tiba, ya, tiba-tiba sebuah pikiran menyelinap ke otaknya. Jika dari menara bisa menembak, dan dengan memakai alat peredam, peluru pasti bisa masuk ke mari dengan diam. Bahkan tanpa alat peredampun, tembakan dalam jarak seribu meter itu takkan terdengar dari dalam pesawat.
Mereka di tower harus berbuat sesuatu, pikir Tongky. Dia mencoba membayangkan perang Vietnam yang dia lalui bersama teman-temannya dulu. Betapa mereka mempergunakan bedil yang pakai peredam.
@
Tikam Samurai - V