Tikam Samurai - 195

Kawasaki, pimpinan Jakuza cabang pelabuhan itu tinggal di seberang taman Hamarikyu di tepai sungai Sumida yang besar di pinggir kota Tokyo.
Rumahnya indah dengan pekarangan luas. Dia tinggal dirumah itu bersama isteri mudanya. Seorang gadis Jepang bekas Sri Panggung di Kabukiza Theater.
Gadis itu cantik. Bertubuh padat. Isteri pertamanya sudah terlalu gembrot. Meski belum begitu tua, tapi Kawasaki sudah menceraikannya.
Saat itu dia tengah istirahat di ruangan tengah ketika sebuah kendaraan berhenti jauh di jalan di depan rumahnya.
Dari pintu yang terbuka lebar, dia segera mengenal bahwa mobil yang berhenti itu adalah mobil dari “markas besar” Jakuza.
“Ada pesan penting nampaknya,….” Katanya sambil berdiri.
“Masuklah ke dalam. Ada tamu penting….” Katanya pada isterinya yang sedang membaca koran pagi. Perempuan cantik itu tegak. Berjalan ke kamar dengan lenggang pinguulnya yang meransang.
Dua orang lelaki kelihatan memasuki pintu pekarangannya. Kemudian melangkah di taman. Semacam perasaan tak sedap menyelinap di hati Kawasaki. Kedua lelaki ini dia ketahui sebagai pembawa pesan “amat khusus”. Dan keduanya adalah pembunuh-pembunuh berdarah dingin. Dua orang spesialis yang langsung berada di bawah perintah Pimpinan Wilayah, Tokugawa.
“Gomenkudasai…” salah seorang diantaranya bicara sopan di luar pintu.
“Hai, dozo ohairi kudasai…” jawabnya menyilahkan kedua tamu khusus itu masuk
Kedua tamu itu membuka sepatu. Kemudian mereka masuk ke ruang tengah itu. Duduk membelakangi pintu di lantai.
“Ogenki desu ka..” (apa kabar apa?) tanya Kawasaki sopan, setelah ikut duduk berlutut dua depa di hadapan kedua tamunya ini.
“Kami disuruh menyampaikan pesan ini….” Jawab yang bertubuh kurus berwajah dingin seperti burung gagak.
Dia mengangsurkan sebuah surat beramplop panjang ke hadapan Kawasaki. Dengan perasaan tak sedap, Kawasaki mengambil surat itu. Dan darahnya serasa seperti berhenti mengalir takkala melihat surat dalam amplop itu tertulis di kertas merah.
Itu berarti perintah bunuh diri!
Dia berusaha menguatkan hatinya. Kemudian membaca surat merah itu.
“Tuan hadir dalam rapat di Shinjuku di rumah Kawabata. Saya telah menjamin dengan sumpah putus jari dihadapan seorang Indonesia untuk keselamatan Hannako bersaudara. Saya telah membiarkan Indonesia-jin itu pergi. Suatu pertanda bahwa saya juga menjamin keselamatannya. Seorang Tokugawa tak mau melanggar sumpah. Dan lebih tak mau lagi kalau ada orang yang menodai sumpah itu. Indonesia-jin (orang Indonesia) itu kini ditangkap tentara Amerika atas penghianatan tuan.
Bersama ini saya kirimkan untuk tuan sebuah peti merah.
“Tokugawa”
Begitu selesai membaca, lelaki yang tadi masuk ke kamar Tokugawa, segera mengeluarkan kotak kecil berwarna merah yang diberikan Tokugawa. Kotak kecil yang dia ambil dari dalam laci mejanya.
Dengan sikap sangat hormat, lelaki tampan ini meletakkan kotak ramping itu di lantai. Kemudian dengan kedua tangannya dia menyorongkan kotak itu ke depan Kawasaki.
Kawasaki jadi pucat.
“Ini tidak betul. Saya menghadap sendiri ke Pimpinan….” Katanya gugup. Namun kedua lelaki itu menatap padanya dengan pandangan dingin.
“Saya bisa membebaskan Indonesia-jin itu…” dan ucapannya terhenti. Dengan berkata begitu jadi jelas bahwa memang dia yang “mengatur” agar si Bungsu tertangkap.
“Saya akan menelpon….” Suaranya terhenti. Kedua lelaki itu menggeleng perlahan.
Dengan isyarat halus, keduanya menunjuk pada kotak merah kecil itu.
Namun Kawasaki tegak.
“Saya akan menemui pimpinan….” Suaranya lebih mirip orang takut dan putus asa. Dia bergegas memutari kedua lelaki itu dalam jarak yang jauh menuju pintu.
Kedua lelaki itu tetap duduk tak memutar sedikitpun. Kawasaki sudah sampai di pintu. Tiba-tiba kedua lelaki itu bergerak sangat cepat. Mereka berbalik serentak setelah mengambil sesuatu dari balik jas mereka.
Demikian cepat gerakan kedua orang itu, sehingga tak diketahui siapa yang lebih dahulu bergerak. Yang jelas, begitu mereka berbalik. Kawasaki merasa dada dan rusuknya perih dan linu sekali.
Dia berpaling, tapi tubuhnya tak kuat tegak. Dia rubuh di atas kedua lututnya. Tangannya jadi lumpuh. Pada dada dan rusuknya yang terasa linu dan menyebabkan kelumpuhan itu, tertancap dua bilah samurai pendek. Tak lebih dari sejengkal.
“Pimpinan menghendaki tuan harakiri. Mati sebagai Jakuza yang terhormat. Tapi tuan lebih menginginkan mati secara begini. Maafkan kami….”
Kedua lelaki itu, yang kini duduk berlutut di depan Kawasaki yang terhenyak tak bisa bergerak, berkata perlahan.



@



Tikam Samurai - 195