Tikam Samurai - 160

“Kita ke seberang sana…?” tanyanya sambil menoleh pada Bilal yang berada ditengah barisan  itu. Bilal mengangguk. Bungsu menepi memberi jalan kepada orang yang dibelakangnya. Lelaki  itu lewat dengan mayat leutenant Belanda dibahunya. Berturut-turut lewat lelaki yang lain.
Namun tiba-tiba si Bungsu merasa dirinya jadi tegang.
Matanya menyipit. Inderanya yang sudah terlatih di rimba Gunung Sago tiba-tiba  mengisyaratkan bahwa ada bahaya mengancam. Samurainya dengan cepat berpindah ke tangan  kiri. Sementara tangan kanannya menggantung melemas.
Beberapa lelaki lagi lewat dihadapannya. Dia menatap dengan tegang. Bahaya yang tercium  oleh firasatnya itu makin mendekat. Lelaki yang paling depan telah naik kembali ke tanah di  seberang bancah sana. Jaraknya dengan si Bungsu ada sekitar dua depa.
Si Bungsu kenal benar dengan isyarat yang dia tangkap ini. Amat kenal. Hanya kini dia  memastikan dimana sumber bahaya itu. Sedetik dia memejamkan mata, inderanya yang terlatih,  yang melebihi ketajaman indera binatang buas manapun, segera mengetahui bahaya itu.
Tiba-tiba dia memekik seperti pekikan raja hutan. Pekikannya yang dahsyat itu diikuti oleh  terangkatnya tubuhnya dari tempatnya tegak. Dirinya yang tadi tegak dalam rendaman air  sebatas paha, tiba-tiba melambung dalam suatu lompa tupai yang terkenal itu.
Tubuhnya mengapung segera dari permukaan air bancah. Melambung ke arah depan dimana lelaki  yang memangku mayat leutenant itu tegak.
Tidak hanya lelaki dengan mayat leutenant itu saja yang tertegak diam. Semua anggota  rombongan pengubur mayat itu, termasuk Bilal yang berjumlah empat belas orang pada tertegak  kaget, dan seperti dipakukan ke tanah begitu mendengar pekik si Bungsu tadi.
Dan kini dengan pandangan tak berkedip, mereka melihat tubuh si Bungsu turun di depan  sekali. Persis disisi Soli yang memangku mayat Leutenant itu.
Tangan kanan si Bungsu dengan kuat mendorong tubuh Soli. Karena dibahunya ada beban, Soli  tak bisa menguasai keseimbangan, tubuhnya segera saja terdorong ke samping. Tak hanya  sekedar terdorong, tapi terjatuh duduk.
Belum habis kaget Soli dan semua teman-temannya melihat tindakan si Bungsu, tiba-tiba saja  dari hadapan tempat Soli tegak tadi, melesat suatu bayangan dengan suara menggeram hebat.
Bayangan itu justru menerpa tempat Soli tegak tadi bersama mayat leutenant tersebut  dibahunya. Kini di tempat itu yang tegak bukan lagi Soli, tapi si Bungsu. Si Bungsu tak  berani menerima terkaman itu. Yang menerkamannya tak lain daripada seekor harimau besar!
Dia melambung dengan lompat tupai ke kanan! Dan harimau itu menerpa tempat kosong! Semua  lelaki yang segera melihat harimau itu pada tegak melongo. Hanya Bilal yang mengucap  istigfar. Yang lain tanpa dapat dicegah pada menggigil. Mereka rata-rata memang pesilat.  Tapi tak semua pesilat berani menghadapi harimau. Apa lagi di siang bolong dan di dalam  rimba raya!
Mayat-mayat yang tadi mereka panggul. Pada berjatuhan tanpa mereka sadari. Dan mereka pada  tegak menggigil!
“tetaplah diam ditempat kalian!” si Bungsu berteriak memperingati ketika dia lihat ada  seorang dua yang ingin ambil langkah seribu.
Semua pada tertegak. Si Bungsu memperingatkan hal itu untuk menghindarkan korban. Sebab dia  telah hidup dalam belantara Gunung sago. Telah berkelahi dengan harimau-harimau di gunung  Sago tersebut untuk mempertahankan hidupnya.
Dan dia jadi sangat kenal pada sifat harimau-harimau. Mereka akan memburu orang yang  membelakanginya. Yang lari terbirit-birit! Hariumau justru jadi segan dan agak gentar pada  orang yang tegak diam dan menatapnya!
Dan kini harimau yang besarnya bukan main itu mengeram. Beberapa lelaki ada yang  terkencing. Si Bungsu dengan langkah ringan memutar tegak.
Dan kini dia persis dihadapan harimau itu.
Harimau itu mengais-ngaiskan kakinya ke tanah. Meninggalkan jejak kukuk yang dalam pada  tanah keras tersebut. Dan tiba-tiba tubuhnya merendah. Matanya nyalang menatap si Bungsu  tak berkedip.
Si Bungsu tegak dengan tenang. Dan kedua kakinya terpentang lebar.
Dia balas menatap harimau itu dengan pandangan tak berkedip. Mereka sama-sama mengukur. Dan  tiba-tiba tanpa memberitahu, tanpa bersuara sedesahpun, tubuh harimau itu melesat dengan  kecepatan yang tak terikutkan oleh mata. Menghambur kearah si Bungsu.
Demikian cepatnya sergapan itu, sehingga hampir-hampir tak terikutkan oleh mata  lelaki-lelaki yang ada disana.  Yang dapat melihat dengan jelas gerakan itu hanyalah Bilal  yang telah masak ilmu silatnya.
Dia melihat betapa harimau itu tidak menerkam, tapi dalam lompatannya dia menampar ke arah  si Bungsu. Dan hanya Bilal pulalah yang dapat sedikit melihat betapa dengan kecepatan yang  sulit dimengertyi, tangan kanan si Bungsu tiba-tiba telah memegang samurainya. Dan  samurainya itu membabat ke arah harimau yang menerkamnya itu. Hanya itu yang terlihat.



@



Tikam Samurai - 160