“Bungsuuu!!” Bilal berteriak dan memburu, si Bungsu terbatuk-batuk lagi. Kemudian memuntahkan air bancah yang terminum olehnya. Dia dibantu tegak oleh Bilal. Sementara lelaki-lelaki yang lain masih tertegak diam. Takjub dan terpana. Untuk menegakkan si Bungsu, Bilal terpaksa mendorong harimau itu ke pinggir.
Harimau itu ternyata mati! Samurai si Bungsu menancap persis dijantungnya! Tembus hingga ke punggung. Dan tiba-tiba belantara itu seperti akan robek oleh pekik dan sorak gembira lelaki-lelaki dari Buluh Cina tersebut.
Mereka melupakan celananya yang basah karena kencing. Bahkan dua orang diantaranya melupakan kentut dan berak yang memenuhi celana mereka takkala harimau itu meraung dengan menghimpit tubuh si Bungsu!
Mereka berlarian mengelilingi anak muda itu.
Si Bungsu membuka bajunya yang basah. Dan tiba-tiba semua lelaki dari Buluh Cina itu tertegun. Mereka menatap punggung, dada dan perut si Bungsu.
Tubuh anak muda itu seperti habis sembuh dari suatu penjagalan. Bekas luka lebih dari selusin simpang siur pada tubuhnya itu. Mereka saling pandang sesamanya. Kemudian menatap pada si Bungsu. Dan si Bungsu segera mengetahui bahwa perut bekas luka yang malang melintang di tubuhnya menarik perhatian lelaki-lelaki itu. Dia memeras bajunya yang basah kuat-kuat untuk mengeringkan air bancah tadi.
“Kita kuburkan Belanda-Belanda ini? Katanya sambil menoleh pada Bilal. Bilal yang tegak didekatnya tersenyumdan mengangguk.
Mereka lalu kembali mengangkati mayat-mayat Belanda yang tadi berjatuhan di dalam bancah. Kemudian kembali naik ke daratan menerobos hutan diseberang bancah itu. Menggali lobang besar di tanah. Kemudian memasukkan keenam mayat Belanda itu sekaligus ke satu lobang. Lalu menimbunnya.
“Nah, kini kita kembali ke kampung. Kita bawa bangkai harimau ini. Saya rasa ini adalah harimau yang menangkapi kambing kita. Dan mungkin juga yang menangkap dan memakan Tuar, Karim dan Bodu dahulu….” Bilal berkata.
Dan para lelaki itu lalu mengikat kaki-kaki harimau tersebut. Dan sebuah kayu besar betis ditebang. Lalu dimasukkan diantara keempat kaki raja hutan itu. Dan dengan kayu itu, bangkai harimau besar tersebut dipikul oleh enam orang lelaki menuju ke kampung.
Di kampung mereka berpapasan dengan penduduk yang tadi disuruh Bilal menguburkan jenazah orang-orang yang meninggal dalam pertempuran di Pasar Jumat itu.
Dan penduduk segera saja jadi gempar takkala melihat mereka membawa bangkai raja hutan itu.
Raja hutan itu segera diletakkan di pekarangan mesjid di tengah kampung.
Berita bahwa ada harimau mati dan bangkainya dihalaman mesjid, segera saja menjalar ke seluruh rumah penduduk. Penduduk yang tadinya setelah penguburan pada naik ke rumah masing-masing, takut keluar disebabkan peristiwa dengan tentara Belanda itu, kini segera berdatangan.
Dalam waktu tak sampai lima belas menit, semua penduduk kampung yang sekitar seribu orang itu telah berkumpul dihalaman mesjid. Mereka ternganga melihat bangkai harimau yang hampir sebesar kerbau itu.
Kemudian lelaki-lelaki yang tadi pergi bersama si Bungsu dan Bilal, menyaksikan perkelahian itu pada bercerita pada orang di sebelahnya. Mereka menceritakan jalan perkelahian yang belum pernah terjadi itu.
Dan bahkan ada yang menyatakan bahwa merekalah yang pertama melihat harimau itu.
“Saya lihat kepalanya diantara semak” kata lelaki yang ketika perkelahian itu terjadi, terpancar kencingnya dalam celananya.
Empat lima orang penduduk merapatkan tegaknya.
“Lalu bagaimana? Waang lari?”
“Jangan menghina ya! Buruk-buruk begini saya pesilat. Begitu kepalanya saya lihat, saya berkata: Maaf Inyiak, kami akan liwat” Lelaki itu berhenti dan menatap pada penduduk yang mendengakan ceritanya. Penduduk itu pada ternganga. Sementara Bilal dan si Bungsu dan beberapa pemuka kampung lainnya kelihatan bicara serius di teras mesjid.
“Kemudian “ lelaki itu myambung lagi
”Saya lihat harimau itu ragu. Saya menyuruh teman-teman semuanya berhenti. Saya letakkan mayat Belanda ditanah. Saya maju dua langkah…” lelaki itu membuat gerakan seperti meletakkan sesuatu di tanah, kemudian maju dua langkah. Penduduk mengkiuti dengan tak berkedip.
“Kemudian saya baca ayat Kursi. Dan saya berkata: menghindarlah Inyiak, cucumu akan lewat..”
“Waang maju mendekati harimau ini Pudin?” seorang lelaki tua yang tahu benar Pudin ini penakut bertanya memutuskan cerita lelaki itu. Lelaki itu mendelik, membusungkan dada.
“Ya. Tentu saja saya mendekati dan mita lewat. Bukankah begitu tata tertib dalam rimba? Saya tahu bagaimana caranya bersikap dalam rimba…”
“Lalu apa kata harimau itu?”
@
I. Tikam Samurai