Tikam Samurai - 171

“Watashi wa Tempura desu” (Saya pesan Tempura) jawab gadis itu dengan senyum dibbiirnya. Si Bungsu lalu memesan kedua jenis makanan tersebut.
Sukiaki yang dia pesan adalah makanan yang terdiri dari daging, sayur dan kacang yang direbus. Sementara Tempura yang dipesan Hannako adalah makanan yang terdiri dari goreng udang, ayam, ikan yang dicampur tepung terigu dan sayuran. Sukiaki terutama dimakan orang dimusim dingin seperti sekarang.
Si Bungsu teringat pada gadis yang malam tadi dihotelnya di Asakusa. Kemana gadis itu kini? Malam tadi dia tak sempat menanyai dan menolong gadis itu lebih lanjut. Dia buru-buru menyelamatkan diri.
Gadis itu kini tentulah diinterogasi oleh Polisi Militer tentara Amerika. Menanyakan siapa yang telah membunuh kedua serdadu Amerika itu.
“Sumimasen, anata wa Indonesia-jin desu” (Maaf, apakah anda orang Indonesia) tiba-tiba dia dikejutkan oleh pertanyaan gadis itu.
“Hai….watashi wa Indonesia-jin desu” (Ya, saya orang Indonesia) jawabnya.
“Sudah berapa lama di Jepang?”
“Baru tiga bulan”
“Disini tinggal sendiri?”
“Ya..”
Dan pembicaraan mereka terputus takala makanan yang mereka pesan diletakkan di atas meja.
Mereka makan dengan lahap. Selesai makan, si Bungsu membayar makanan tersebut. Dan mereka lalu keluar dari kedai kecil itu.
“Anata no uchi wa doko ni arimasu ka” (Rumah anda dimana?) tanyanya pada Hannako. Gadis itu menunduk lemah.
“Saya tak punya rumah. Tak punya orang tua….” Jawabnya lirih.
“Jangan sedih. Mari kita pergi….” Si Bungsu cepat memutuskan kesedihan gadis itu.
“Saya belum tahu nama anda, nama saya Hanako” gadis itu berkata sambil bergegas mengikuti langkahnya.
“Hannako, hmm itu artinya Bunga dalam bahasa Jepang bukan?”
“Hai. Tapi siapa nama anda?”
“Bungsu…”
“Bungsu…?”
“Hai..”
“Apakah itu nama bunga atau benda lain?”
“Tidak. Saya anak yang paling kecil dalam keluarga saya. Dan anak yang paling kecil dikampung saya disebut Bungsu”
Mereka berjalan menyelusuri jalan raya tanpa tujuan. Menjelang tengah hari, mereka berhenti di taman Korakuen. Korakuen adalah sebuah taman ditengah kota. Pohon-pohon dan bunga-bunga sudah gundul.
Mereka duduk di kursi kayu. Sedikit cahaya matahari di musim gugur ini membuat suasana cukup hangat.
Puluhan lelaki dan perempuan kelihatan duduk atau berjalan di taman itu. Ada yang duduk membaca. Ada yang merajut sambil makan roti goreng.
Sambil duduk,  Hannako menceritakan betapa dia melarikan diri dari Kawabata. Yaitu salah seorang anggota Jakuza di daerah Shinjuku. Suatu daerah dipinggir barat Tokyo.
Dia teringat ke dalam perlakuan yang tak senonoh takkala dia berusaha mencari makanan bagi adiknya. Kawabata yang baik itu membawanya ke rumahnya. Tapi di rumah itu yang dia terima bukan makanan. Melainkan obat bius yang membuat dia tertidur.
Dan begitu dia sadar dari bius, dia mendapati dirinya sudah tak suci lagi. Peristiwa itu berulang terus. Sementara usahanya untuk mengetahui dimana adiknya berada tak pernah berhasil.
Dia tak diperkenankan untuk keluar. Dan disanalah dia, di rumah Kawabata, di daerah Shinjuku terkurung selama dua bulan. Dia dijadikan pemuas nafsu lelaki jahanam itu. Dan malam tadi dia berhasil melarikan diri takkala di rumah itu diadakan pesta semalam suntuk. Dikala isi rumah sedang mabuk kepayang, ada yang bergumul dengan perempuan-perempuan dalam kamar, Hannako mempergunakan kesempatan itu untuk kabur.
Tak dinyana dia bertemu lagi dengan teman-teman Kawabata di dalam terowongan di daerah Yotsuya pagi tadi.
“Untung saya tidur dekat Bungsu-san (Kak Bungsu) malam tadi…” kata gadis itu perlahan. Dan matanya memandang pada “tongkat” ditangan si Bungsu. Dari tongkat itu, matanya menatap pada wajah anak muda tersebut.
“Bungsu-san sangat mahir mempergunakan samurai. Dimana Bungsu-san belajar? Apakah di Indonesia juga ada orang belajar samurai seperti di Jepang ini?”
Si Bungsu hanya tersenyum. Dia sudah akan bercerita ketika dari jauh dia lihat seseorang bersama dua kanak-kanak lelaki.
“Tunggu sebentar di sini…” katanya sambil berdiri dari duduk. “Kenjiii….Kenji-san…! Himbaunya. Lelaki yang dia panggil itu menoleh.



@



Tikam Samurai - 171