“Hmmm, mereka membantaimu Bungsu-san…” katanya perlahan.
Dan dengan berpegang ke tangan Zato Ichi si Bungsu berdiri.
Diam-diam Zato Ichi merasa kagum atas ketangguhan anak muda ini. Tangguh dalam bersamurai dan tangguh dalam mengahadapi derita.
Dan senja itu, dia pindah dari hotel tersebut. Dengan sebuah taksi yang dipanggilkan oleh pelayan hotel dia dibawa Zato Ichi jauh ke luar kota. Ke sebuah kuil tua.
Di bahagian belakang kuil itu ada sebuah rumah kecil. Dan rupanya di rumah inilah Zato Ichi tinggal. Itu terbukti dengan bergantungan beberapa helai pakaian Zato Ichi.
“Nah, tenanglah. Kita akan coba mengobati luka-lukamu. Disini engkau aman. Takkan ada orang yang mencarimu kemari….” Kata Zato Ichi sambil berjalan ke meja.
Kamar ini nampaknya sudah dia kenali betul letak-letak barangnya. Sebab si Bungsu melihat betapa dengan mudah dia melangkah ke segenap penjuru tanpa menabrak benda-benda dalam rumah kecil itu.
Sementara Zato Ichi merabut obat, si Bungsu masih digeluti penasaran heran dan takjub. Heran kenapa lelaki yang jadi tokoh legenda itu bisa hadir di kamarnya tadi?
Takjub, apakah benar bahwa lelaki ini adalah Zato ichi, pahlawan samurai yang tersohor itu?
“Kota nampaknya semakin ramai….” Suara Zato Ichi terdengar perlahan. Si Bungsu yang terbaring di tempat tidur menolehkan kepala. Tak berniat memberikan komentar. Dia ingin mendengar lebih banyak tentang lelaki ini.
“Dahulu, tiga puluh tahun yang lalu, ketika saya masih muda, Kyoto adalah kota yang tenang. Penduduknya memang ramai. Tapi mobilnya tak sebanyak sekarang. Hanya ada dua atau tiga mobil. Kini ribuan. Ah, orang buta seperti saya akan hancur digilasnya kalau sering ke kota….”
Si Bungsu tetap tak memberikan komentar. Zato Ichio meneruskan meramu obat. Dan si Bungsu segera mengetahui, bahwa Zato Ichi ternyata juga seorang yang mahir dalam meramu obat tradisional. Hal itu segera dia ketahui ketika melihat lelaki itu mengeluarkan akar-akar dan beberapa jenis batu-batuan yang dia kikis.
“Negeri ini dahulu adalah negeri yang aman. Tapi tentara membuat seluruh jadi berobah. Keinginan untuk berkuasa di Asia merembet untuk berkuasa di dunia. Akhirnya menjerumuskan bangsa kedalam kancah peperangan yang menghancurkan diri sendiri….” Zato Ichi berkata terus sambil terus pula meramu obat.
“Nah, selesai….” Katany sambil menuangkan obat dari tempat penggilingan ke dalam sebuah pring kecil. Lalu seperti orang yang bisa melihat sepenuhnya, dia melangkah ke pembaringan.
Dari dalam baskom yang diisi air panas dia mengeluarkan handuk kecil yang bersih. Lalu dengan handuk itu dia mencuci luka di sekujur tubuh si Bungsu. si Bungsu masih tak habis pikir, kenapa tokoh legendaris Jepang ini mau menolong dirinya.
Tak hanya sekedar menolong menyelamatkan nyawanya dari pembantaian anggota Kumagaigumi, tapi juga menolong merawat dirinya. Dia tak menemukan jawaban apa sebenarnya.
Sementara Zato Ichi yang telah tua itu, tapi gerakannya masih kukuh dan lincah, selesai membersihkan seluruh luka di tubuhnya.’
“Nah, kini saatnya obat ini saya tuangkan ke luka di tubuhmu. Obat ini sangat manjur. Dalam tiga hari akan sembuh lukamu. Tapi pedihnya memang tak tertahankan. Pedih dan memilukan. Saya pernah diobat dengan ramuan ini. Dan untuk itu seluruh tangan dan kaki saya diikat ke pembaringan. Saya rasa ada baiknya kakimu dan tanganmu juga diikat Bungsu-san…”
“Tidak….tak apa. Barangkali saya bisa tahan…”
“Engkau sungguh-sungguh?”
“Saya coba…”
Tangan kanan Zato Ichi mengangkat piring berisi obat itu. Tangan kirinya meraba bekas luka di tubuh si Bungsu.
Dan obat itu dia teteskan ke luka di dada. Mula-mula rasa panas menyengat. Kemudian sakit dan pedih yang menggigilkan jantung. Namun si Bungsu segera membandingkannya dengan rasa sakit ketika dia diazab dalam terowongan Jepang di Bukittinggi. Yaitu ketika kukunya dicabut dan jarinya dipatahkan satu demi satu.
Siksaan itu jauh lebih sakit daripada yang sekarang. Karena itu, dia hanya memejamkan mata. Dan Zato Ichi kembali terkejut melihat daya tahan anak muda ini.
Demikianlah, obat itu disiramkan ke seluruh luka di tubuh si Bungsu. kemudian ditempel dengan sejenis daun kayu yang telah didiang panas ke api. Peluh si Bungsu meleleh membasahi tubuhnya ketika pengobatan itu selesai.
“Benar-benar luar biasa. Engkau benar-benar lelaki tangguh Bungsu-san….” Kata Zato Ichi. Namun suaranya tak didengar lagi oleh si Bungsu.
Anak muda itu sudah tertidur. Obat tradisional itu memang bercampur dengan sejenis candu. Candu yang kadar biusnya amat besar. Zat bius itu mengalir di pembuluh darahnya lewat luka yang ditaburi obet tersebut.
Demikian kesarnya zat rekat candu dan zat bius dalam obat itu, sehingga si Bungsu serta merta jadi tertidur sebelum pengobatan itu selesai.
@
Tikam Samurai - II