Si Bungsu merasakan dirinya dibasahi peluh. Dia jadi pucat. Namun akhirnya menaik nafas dan menunduk. Dia jadi merasa sangat hormat pada Salma. Ternyata dia isteri yang jujur.
“Apa saja yang diceritakan Salma…?” tanyanya perlahan. Dia berharap, bahwa gadis itu hanya becerita garis besarnya saja.
“Dia menceritakan semuanya. Tentang pakaian dan perhiasan yang engkau berikan. Yang dia pakai malam itu. Saya yang menyuruhnya memakai pakaian itu. Bukan dengan niat menyiksamu. Tapi saya ingin melihat isteri saya menghargai pemberian orang yang pernah dia cintai. Dan dia juga bercerita tentang cincin ini…” Nurdin menunjuk pada cincin di jari manis si Bungsu. “ cincin ini dia berikan sesaat sebelum engkau meninggalkannya dahulu bukan? Dan Salma juga mengakui dengan jujur, bahwa dia masih tetap mencintaimu. Sampai anak kami lahir. Saya tak merasa cemburu Bungsu. tidak. Saya malah merasa berdosa. Kalau saja dahulu saya tahu…”
Nurdin terhenti dan memandang laut.
Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa bulu tengkuknya merinding. Ternayata tak ada lagi rahasia antara dia dengan Salma dimata sahabatnya ini.
Namun si Bungsu merasa lega. Sebab sebelum dia minta diri untuk pergi, dia telah ceritakan hal sebenarnya pada temannya ini. Kalau saja dia tak menceritakannya, tentu Nurdin akan berprasangka yang tidak-tidak selamanya.
Sebaliknya Nurdin benar-benar tidak berbohong ketika tadi dia berkata bahwa baik terhadap si Bungsu, maupun terhadap isterinya, dia sama-sama mencintainya. Ucapan itu tidak sekedar pemanis. Itu memang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Dia memang mencintai isterinya itu sepenuh hati. Betapa dia takkan mencintainya, perempuan itu mencintai lelaki lain, namun itu adalah masa lalunya. Bukankah yang penting bukan masa lalu. Melainkan masa sekarang dan yang akan datang?
Nurdin berpendirian, dia tak kawin dengan masa lalu isterinya. Dia kawin dengan isterinya saat dia temui. Dan kalaupun isterinya punya masa lalu yang indah dengan lelaki lain, buat apa dia cemburui? Bukankah dia juga punya masa lalu yang indah dengan seorang dua gadis, yang tak sampai dia nikahi karena tak jodoh?
Masih untuk isterinya hanya punya masa lalu yang indah. Bagaimana kalau masa lalu isterinya adalah hitam dan berlumur dosa? Kalaupun hal itu terjadi, Nurdin tetaplah Nurdin. Dia adalah lelaki yang fragmatis. Dia akan tetap mencintai isterinya itu. Sebab, baginya memilih isteri bukan untuk menggali lagi masa lalu. Kalau lelaki telah memilih isteri, dan perempuan telah menetapkan seorang suami baginya, maka mereka hendaklah kawin secara utuh baik fisik maupun rohaninya.
Kalau masa lalu pasangannya indah, maka kewajibannya untuk berbuat lebih indah, atau sekurang-kurangnya sama indahnya dengan masa lalu isteri atau suaminya itu. Barangkali kadar keindahan dan kebahagian itu berbeda. Namun kebahagiaan bukankah tidak hanya berstandar pada materi?
Dan kalau masa lalu pasangannya hitam dan bernoda, maka dia hendaklah berusaha sekuat mungkin untuk membersihkannya. Itulah konsekuwensi sebuah pernikahan bagi Nurdin. Konsekuwensi logis dari sebuah pilihan.
Dan itulah yang dia lakukan terhadap isterinya. Yang kebetulan dalam hal ini adalah Salma. Perempuan yang punya masa lalu yang indah dengan seorang pemuda. Dan pemuda itu justru adalah si Bungsu. seorang lelaki yang telah bertanam budi padanya, pada perjuangan kemerdekaan dan pasukannya di Pekanbaru dahulu.
Dia memang mencintai kedua orang ini, seperti dia mencintai diri dan tugasnya. Nurdin memang tak munafik dalam hal ini. Dan dia tak khawatir bahwa Salma akan meninggalkan dirinya. Dia tak khawatir karena dia tahu akan kesetiaan perempuan itu. Selain itu, dia tak khawatir karena dia tahu bahwa dia telah berusaha sekuat dayanya untuk membahagiakan perempuan itu. Baik lahir maupun bathinnya. Dan dia juga tak khawatir karena dia orang yang beriman. Artinya, kalau Salma tetap juga meninggalkan dirinya, maka dia yakini hal itu semata karena Takdir!
Dan siapa orangnya yang akan mampu menolak datangnya Takdir. Demikian Nurdin berpendapat. Dalam hal ini, tentu saja si Bungsu jauh tertinggal. Sebab dia tak pernah sempat berfikir kesana. Selama ini dia hanya memikirkan bagaimana membalas dendamnya. Dan dia juga berfikir bagaimana menolong orang dari aniaya dan perbuatan sewenang-wenang pihak lain.
Dia lebih banyak memikirkan orang lain. Sehiongga tak punya kesempatan untuk memikirkan dirinya sendiri. Dan ketika dia mulai memikirkan dirinya, ternyata dia dinanti oleh kekecewaan. Itulah dirinya kini. Seorang pahlawan samurai yang menundukkan puluhan ahli samurai lainnya. Seorang pahlawan dihati rakyat. Namun hidupnya sepi.
Dia tersadar ketika tangan Nurdin memegang tangannya di atas meja.
“Betapapun Bungsu, engkau tetap sahabat saya…dan tetap pulalah menjadi sahabat Salma. Sebuah perkawinan hendaknya menjadi tali pengikat untuk memperbanyak kenalan, sanak famili dan keluarga. Perkawinan tidak menjadi kampak pemutus hubungan antara yang satu dengan yang lain.
@
Tikam Samurai - III