Tikam Samurai - 332

Saat itu pergolakan sedang berada di puncaknya. Pagi itu Jam Gadang di pusat kota berdentang lemah delapan kali. Matahari sudah sejak tadi terbit. Namun meski telah sesiang itu, tak seorangpun penduduk yang kelihatan berada di luar rumah. Kota itu seperti kota mati. Beberapa belas mayat berlumur darah kelihatan tergeletak di depan Jam Gadang. Jam itu seperti saksi bisu, menatap mayat-mayat di bawahnya.
Malam tadi PRRI menyerang APRI yang berkedudukan di kota. Kontak senjata tak terhindarkan. Sebagaimana jamaknya perang kota di mana-mana, dibahagian manapun di dunia ini, yang paling menderita bukanlah pihak yang berperang. Melainkan penduduk!
Itulah yang terjadi atas penduduk kota Bukittinggi. Rentetan tembakan yang terdengar malam tadi, masih bersambung sampai pagi. Hari itu adalah hari yang paling hitam dan paling berlumur darah bagi kota yang indah dan sejuk itu. Bahkan di zaman penjajahan Belanda dan di zaman fasis Jepangpun, maut tak pernah menyebar bencana sedahsyat seperti yang terjadi hari itu. Kota itu benar-benar sunyi. Bahkan suara burung-burungpun, yang biasanya terdengar riuh seperti nyanyian kanak-kanak yang gembira, pagi itu sepi.
Bau mesiu dan seringai maut, berbaur dengan anyirnya darah. Tercium di setiap pelosok kota. Sesekali masih terdengar suara tembakan. Sesekali kebisuan yang mencekam itu dirobek oleh derap sepatu berlarian, atau suara truk reot yang mengangkut mayat-mayat. Rumah Sakit makin siang makin dipenuhi oleh mayat yang berdatangan. Dari Tarok, dari Jalan Melati. Dari Simpang Aurkuning, dari Birugo, dari Mandiangin, dari Lambau, dari Atas ngarai.
Menjelang tengah hari, jumlah mayat tak lagi bisa dihitung, melebihi angka seratus. Menurut kalangan resmi, mayat-mayat itu adalah mayat anggota PRRI. Tapi banyak yang mengenali bahwa sebahagian besar dari mayat itu adalah mayat penduduk kota yang mungkin tak ada sangkut pautnya dengan pasukan PRRI yang menyerang malam tadi.
Di Simpang Aurkuning, di bahagian Timur kota, sepasukan OPR yang tengah berjaga tiba-tiba melihat seseorang berjalan dari arah Tigobaleh.
”Mata-mata…” bisik salah seorang.
”Kita tembak saja…” kata yang lain.
”Jangan, hari sudah siang…”
”Apa peduli kita. Siang atau tak siang…”
”Jangan. Penduduk pasti mengintai dari balik dinding rumah mereka..”
Suara berbisik mereka terhenti, ketika lelaki yang mereka lihat itu tiba-tiba berhenti dekat tiga atau empat mayat yang tengah menanti truk untuk diangkut. Lelaki itu berhenti karena dia dengar rintihan lemah. Ketika dia menoleh, salah satu di antara sosok tubuh yang dianggap telah jadi mayat itu kelihatan bergerak.
”Tolong saya, saya bukan PRRI…,” rintih orang yang berlumur darah itu lemah.
”Hei, kau kemari!” bentak OPR itu sambil mengokang bedil. Tapi lelaki itu tetap menunduk mengamati lelaki yang merintih tadi. Kemudian berkata.
”Orang ini masih hidup, Pak. Dia bukan PRRI…”
Kemudian dia mengulurkan tangan. Orang yang luka itu berusaha bangkit. Ketika tangan mereka hampir berpegangan, suara letusan bergema. Lelaki yang luka itu tercampak. Kepalanya pecah, mati! Orang yang menolong itu tertegun. Matanya menatap mayat yang sebentar ini masih bergerak. Terdengar suara OPR itu menghardik.
”Kemari kau, gerombolan!”
Perlahan lelaki itu menoleh.
”Orang ini bukan PRRI…” katanya lambat.
”Bicara kau sekali lagi, kutembak kepalamu!” bentak OPR itu garang.
Kemudian separuh berlari dia mendekati lelaki asing yang tak di kenal itu. Tapi langkah OPR itu tiba-tiba seperti terhenti. Lelaki asing itu menatapnya. Yang membuat OPR itu terhenti adalah tatapan mata lelaki tersebut. Tatapan matanya setajam pisau cukur. OPR itu jadi ragu-ragu. Bedilnya yang dikokang masih di tangannya. Dia menatap lelaki asing itu. Berbaju gunting cina berwarna putih. Bercelana pantolan dan sebuah tongkat kayu di tangan kirinya. Rambutnya agak panjang, tapi rapi. Usianya paling lewat sedikit dari tiga puluh. Seorang lelaki yang gagah tapi berwajah murung. Namun tatapan mata lelaki itu membuat jantung si OPR seperti berhenti berdetak. Tiba-tiba tedengar suara temannya berseru dari belakang.
”Hei, Kudun! Bawa orang itu kemari!”
Seruan itu mendatangkan semangat bagi si OPR. Dia maju beberapa langkah lagi. Di belakangnya dia dengar langkah dua tiga temannya mendekat.
”Kau anjing! Banyak bicara! Gerombolan busuk!” bentaknya sambil menghantamkan ujung bedilnya pada lelaki asing itu.
Aneh, lelaki itu sama sekali tak berusaha untuk mengelak. Dia tetap tegak dan menerima pukulan itu dengan diam. Suara berderak terdengar ketika ujung bedil dari besi padu itu menerpa keningnya. Keningnya robek. Darah mengalir membasahi mukanya. Membasahi baju gunting cinanya. Membasahi tongkat kayu di tangan kirinya!
“Ayo ikut kami!!” bentak OPR itu.
”Orang itu bukan PRRI…” lelaki itu masih bicara perlahan.
”Jangan kau coba membelanya. Dia kami tembak ketika berusaha melarikan diri pagi tadi. Dia membawa bedil!” suara OPR itu terdengar keras menjelaskan.
”Dia takkan pernah ikut berperang…” ujar lelaki itu perlahan.



@



Tikam Samurai - 332