”Sudah tumbuh semuanya…”
”Bapak berada dalam kota, apakah berpihak pada APRI?” ujar si Bungsu.
Lelaki tua itu tertegun. Kemudian menoleh keluar.
”Panjang ceritanya, Bungsu. Tapi saya akan solat Asyar dulu. Nanti kita cerita…”
”Ya, saya juga akan solat…”
Malam harinya, Kari Basa bercerita. Dia tak ikut berperang. Memang teman-temannya membawanya serta.
”Saya memang tak setuju dengan kebijaksanaan pusat. Tapi memberontak menurut saya taktik yang salah. Sekurang-kurangnya saya tak sepaham. Maka saya tetap tinggal di kota.”
”Bapak berpihak pada APRI?”
”Terserah bagaimana penilaian oranglah. Tapi yang jelas saya tak ikut ke hutan…”
”Bapak menjadi informan PRRI?”
Kembali Kari Basa menggelengkan kepala.
”Kalau begitu bapak informan APRI?”
”Juga tidak Bungsu. Teman-teman memang membawa saya untuk aktif lagi dalam APRI. Namun betapupun jua, Minangkabau ini adalah kampung saya. Barangkali sikap saya adalah sikap yang buruk. Tak bisa berpihak. Tapi saya memang berada dalam posisi yang serba sulit.
Di satu pihak, saya memang tak suka akan kekacauan politik yang terjadi dalam kabinet sekarang. Saya juga tak suka pada cara Presiden Soekarno yang amat berpihak pada komunis. Tapi saya juga tak mau memberontak. Saya lebih-lebih tak suka lagi, kalau saya harus memanggul senapan dan memburu PRRI. Mereka adalah orang kampung saya semua, teman, anak dan kemenakan. Teman-teman dari PRRI dan juga dari APRI meminta saya untuk menjadi informan mereka. Tapi saya menolak. Nah, sejak tadi kau menanyai saya, Bungsu. Seolah-olah engkau seorang intelijen. Apakah engkau salah seorang dari PRRI itu?”
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia melemparkan pandangannya ke luar jendela. Di luar sana, beberapa anggota APRI kelihatan mondar mandir di jalan raya.
”Saya baru datang, Pak. Saya bertanya pada Bapak, karena saya tak tahu tentang apa yang telah terjadi di kampung kita ini. Kenapa negeri yang dahulu Bapak dan teman-teman Bapak pertahankan dengan mengorbankan nyawa ini tiba-tiba diamuk perang saudara. Saya dengar Pak Dakhlan Jambek kini berada di Tilatang Kamang. Apa sebenarnya yang telah terjadi, Pak Kari? Apa sebabnya kita memberontak. Apa sebabnya APRI yang juga orang Indonesia itu, malah di antaranya juga terdapat orang-orang Minang, hari ini justru datang kemari untuk saling berbunuhan dengan saudara-saudara sebangsanya? Tolong Bapak ceritakan, saya ingin mendengarkannya.
Tadi pagi saya memang membunuh seorang OPR. Tapi sungguh mati, saya bukan PRRI. Saya juga tidak simpatisan mereka. Itu bukan pula berarti saya berada di pihak APRI, tidak. Saya hanya membunuh OPR itu karena dia tak memberi kesempatan hidup pada seorang lelaki cacat yang minta tolong pada saya. Dia mengatakan bahwa lelaki cacat itu PRRI. Kalaupun benar, tetapi lelaki itu luka. Kenapa dia tak ditolong? Saya benci pada OPR yang tak berperikemanusiaan itu. Demi Tuhan, kalaupun yang melakukan aniaya itu adalah orang PRRI, maka saya juga akan membunuhnya. Itulah yang terjadi, Pak. Kini harap Bapak ceritakan, kenapa negeri kita ini sampai berkuah darah?”.
Kari Basa termenung. Ucapan anak muda itu, menghujam jauh ke lubuk hatinya. Setelah lama termenung dan merekat kembali segala yang diketahuinya tentang mula pergolakkan ini, Kari Basa lalu bercerita…..
Pada mulanya adalah rasa tak puas pihak Angkatan Darat Republik Indonesia atas kekalutan politik di tingkat Pusat. Kekalutan politik itu menyebabkan jurang pemisah antara Daerah dan Pusat dalam hal mencari jalan keluarnya. Di Sumatera, dua tiga tahun sebelum PRRI dideklarasikan, diadakan reuni para pejuang Perang Kemerdekaan di Sumatera Tengah. Reuni itu bertujuan membina kesatuan dan kekompakan, terutama di kalangan pejuang kemerdekaan yang dipelopori oleh perwira-perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Dari reuni itu, pada 20 Desember 1956 lahirlah Dewan Banteng yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein. Tindakan reuni untuk kekompakan para Pejuang Kemerdekaan ini diikuti oleh daerah-daerah lain. Dalam hal ini para perwira Sumatera Tengah menjadi ikutan. Dua hari setelah dewan Banteng terbentuk, tepatnya 22 Desember 1956, di Medan dibentuk pula ”Dewan Gajah” yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon. Lalu pada tanggal 18 Maret 1957 di Manado dibentuk pula ”Dewan Manguni” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Vence Sumual. Sumatera Selatan segera pula bersiap-siap menuruti Sumatera Tengah untuk membentuk ”Dewan Garuda” dibawah pimpinan Letnan Kolonel Barlian.
Tindakan yang dianggap Pusat melanggar konstitusi dimulai dengan adanya cetusan tuntutan daerah kepada Pusat. Tuntutan itu berupa desakan agar Pusat membangun daerah. Lalu disusul dengan diambil alihnya kekuasaan dari Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Mulyoharjo oleh Dewan Banteng dengan Ahmad Husein sebagai ”Ketua Daerah” menggantikan jabatan Gubernur. Tindakan ini diikuti oleh Dewan Gajah di Sumatera Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
@
Tikam Samurai - IV